Selasa, 20 November 2012

"Bunga Matahari dan Jalan Setapak"


"Bunga, Matahari dan Jalan Setapak"

Oleh: Willy Wonga 

 Bunga Matahari dan Jalan Setapak adalah cerita mini yang dibuat oleh seorang sahabat saya Willy Wonga yang melihat tentang arti sebuah alasan dalam pilihan yang dibuat. Karena kisah itu tak boleh mati, maka ada baiknya saya menghidupkannya di sini.
 

Sewaktu matahari menyentuh dedaunan cemara, Lestari keluar mengenakan kaos putih yang tidak terlalu ketat dan celana sebatas paha. Dia selalu menyirami bunga-bunga yang ditanam dalam pot-pot di depan ruang kerjanya. Beberapa mulai berbunga; aster merah dan putih. Wanita itu menyukai warna bunga-bunga juga warna daun-daun dari bunga yang lain, bahkan dia senang mencium aroma tanah sewaktu air membasahinya. Seperti musim hujan, pikirnya. Karena matahari sebentar lagi akan menyentuh jalan setapak di depannya, maka dia harus segera selesai menyiram bunga-bunga tersebut. Supaya kalau si pemuda melewati jalan setapak nanti, Lestari hanya perlu berpura-pura memandangi bunga-bunga dan melemparkan senyum. Si pemuda akan membalas senyumnya dengan menoleh ke arahnya dan ke arah bunga-bunga. Lalu Lestari kemudian akan memandangi punggung si pemuda hingga menghilang di balik bangunan di ujung jalan.
Kaos putih dan celana sebatas paha itu membuatnya merasa tidak minder. Bahkan kalau berdiri di depan pelanggan yang berjas dan berdasi sekalipun. Cara berpakaian Lestari yang demikian itu membuat si pemuda suka menatapnya.
Si pemuda itu murah senyum. Tentu saja wanita itu pun menyukai si pemuda. Itulah alasan lain dia melakukan tugas rutin menyiram bunga pagi-pagi. Sejak dia mulai bekerja di sini dua bulan lalu, lima hari dalam seminggu si pemuda melewati jalan setapak setiap pagi. Dengan tas punggung hitam dia menuju kampus di ujung jalan. Mereka selalu saling melempar senyum. Oleh sebab itu Lestari tidak pernah absen menyiram bunganya dan pemuda itu tidak pernah terlambat ke kampusnya.
Ketika menyiram bunga pagi ini, angin mulai bertiup. Daun pohon rambutan banyak yang gugur dan Lestari jadi berpikir seseorang mesti membersihkan kotoran dari pohon itu. Tapi itu bukan tugasnya, itu tugas satpam. Dia hanya menyiram bunga-bunga. Tidak berapa lama, angin bertambah kencang sehingga Lestari ingat sekarang sudah bulan oktober. Musim hujan akan datang kalau begitu. Tiba-tiba, dia berharap semoga hujan menunda kedatangannya hingga bulan berikut. Biar dia yang akan menyiram bunga-bunga itu. Karena hanya dengan menyiram bunga, dia akan melihat pemuda yang sama setiap pagi.
Matahari sebentar lagi menyentuh jalan. Biasanya hampir pukul setengah delapan kalau demikian, maka si pemuda akan melewatinya. Bunga, matahari dan jalan setapak adalah patokannya selama ini. Lestari tidak pernah memikirkan ketiga hal tersebut lebih mendalam selain daripada petunjuk baginya. Dia hanya memandangi keindahan dari bunga-bunga, menunggu matahari menyentuh jalan setapak, lalu menyusuri jalan setapak tersebut dengan matanya sampai si pemuda menghilang. Pada siang dan malam hari, dia tidak pernah memikirkan lagi ketiga hal tersebut. Tetapi terhadap si pemuda, selain pagi-pagi, hampir sepanjang waktunya wanita itu memikirkannya. Itulah istimewanya si pemuda dibandingkan bunga, matahari dan jalan setapak.
Matahari akhirnya menyentuh jalan. Lestari telah selesai dengan bunga-bunga itu, tetapi dia masih berdiri. Menyamping antara bunga-bunga dan jalan setapak, sehingga selain mampu memandang bunga dia juga bisa memperhatikan jalan setapak. Itu yang dia lakukan selama dua bulan. Tidak berapa lama, seperti harapannya si pemuda berada di jalan setapak itu. Kali ini dia mengenakan kemeja hitam bergaris putih, celana jeans biru pucat dan sepatu nike hitam. Pakaiannya tidak ada yang baru, tetapi tidak berarti dia tidak pernah menggantinya. Si pemuda hanya selalu merubah pakaiannya setiap hari padahal Lestari sudah hafal semua yang dia kenakan setelah dua bulan.
Angin menggoyang pohon rambutan. Jika musim hujan datang, maka dia tidak bisa melihat si pemuda lagi, pikir Lestari lagi. Atau kalau dia bisa melihat si pemuda dari balik kaca, maka si pemuda tidak akan tersenyum ke arahnya lagi. Lestari jadi merasa aneh. Hatinya merosok. Walau tidak lama kemudian, dia melempar senyum sebab si pemuda telah terlebih dahulu memberinya senyum. Dan seperti kemarin Lestari kembali merasa bahagia. Dia melupakan pekerjaannya dan kegelisahannya. Si pemuda tetap berlalu dengan senyuman sekilas. Kemudian, Lestari menjadi tidak tahan. Dia ingat angin pagi ini membuatnya resah; tidak bisa menyiram bunga lagi.
Dia memanggil pemuda itu.
“Siapa namamu?” tanya Lestari, dia gemetar karena si pemuda berhenti dan berpaling melihatnya kini.
“Tolong, siapa namamu?”
Si pemuda menatap Lestari. Dia tidak terkejut. Hanya tersenyum seolah-olah sudah menanti wanita itu memanggilnya.
“Mengapa kamu baru menanyakannya sekarang?” tanya si pemuda. Itu mengejutkan Lestari.
“Karena sebentar lagi akan turun hujan.” Jawab Lestari terus terang. Si pemuda mengerti maksudnya.
“Oh, saya juga berpikir demikian. Tetapi saya telah mengetahui bahwa musim hujan akan datang sejak minggu yang lalu. Tetapi kamulah yang terlebih dahulu memberitahunya.”
Mereka tersenyum. Saling memahami kini.
“Mengapa kamu tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya?” tanya Lestari.
“Karena kau tidak akan percaya. Karena saya tahu seperti apa pekerjaanmu di tempat ini.”
Lestari menyesal sebab pemuda itu ternyata sama saja dengan para pria yang datang ke sini.
“Lalu mengapa kau masih tersenyum padaku setiap pagi? Pekerjaanku membuatmu tertarik?”
“Tentu saja. Saya tertarik padamu, lain dengan pekerjaanmu.”
Lestari diam sebentar. Dia mencoba berada di sisi pemuda itu dan melihat pekerjaannya, dirinya dan wanita-wanita di dalam sebagai sesuatu yang kotor. Dia melihatnya, bahkan tanpa mengambil sudut pandang si pemuda.
“Maka berhentilah tersenyum padaku, mumpung hujan akan turun dan aku tidak perlu menyirami bunga-bunga lagi. Supaya aku tidak memiliki alasan setiap pagi.” Ucap Lestari kecewa.
“Sebaliknya Saya tidak akan berhenti melihat dan tersenyum padamu. Setiap pagi. Itulah alasan saya selalu bangun pagi agar tidak terlambat melewati jalan setapak ini. Karena tidak terlambat melewati jalan ini, maka kuliah selalu tepat waktu.”
“Jadi apa keputusanmu? Karena mulai besok sesuatu mungkin akan berubah seiring turunnya hujan.” Lestari memandang sekitar dan berpikir si pemuda bisa saja terlambat tiba di kampus.
“Aku tidak ingin merubah sesuatu, tetapi kalau terpaksa maka perubahan itu mesti menguatkan alasan saya.” Si pemuda sekali lagi tersenyum. ”Pekerjaanmu bukanlah alasan bagi. Tetapi kehadiranmu di samping bunga-bunga ini. Saya berharap, mulai besok kau masih akan terus tersenyum. Siapa tahu kita berdua memang berada di sini karena sebuah alasan yang sama.”
Kali ini Lestari tidak sanggup menahan tawanya. Dia tidak perlu lagi merisaukan musim hujan yang akan datang. Sebab alasannya setiap pagi bukanlah bunga-bunga, tetapi si pemuda.
“Jadi, siapa namamu?”
Si pemuda ikut-ikutan tertawa.
“Tunggulah besok. Kalau besok hujan turun dan kau masih menungguku dengan senyummu, maka saya akan memegang tanganmu dan memperkenalkan diri.”
Si pemuda menatapnya lalu melihat ke arah bunga-bunga. Matahari membuat mereka tampak sangat indah, kata si pemuda dalam hati.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar