"Bunga,
Matahari dan Jalan Setapak"
Oleh: Willy Wonga
Bunga Matahari dan Jalan Setapak adalah cerita mini yang dibuat oleh seorang sahabat saya Willy Wonga yang melihat tentang arti sebuah alasan dalam pilihan yang dibuat. Karena kisah itu tak boleh mati, maka ada baiknya saya menghidupkannya di sini.
Sewaktu
matahari menyentuh dedaunan cemara, Lestari keluar mengenakan kaos putih yang
tidak terlalu ketat dan celana sebatas paha. Dia selalu menyirami bunga-bunga
yang ditanam dalam pot-pot di depan ruang kerjanya. Beberapa mulai berbunga;
aster merah dan putih. Wanita itu menyukai warna bunga-bunga juga warna
daun-daun dari bunga yang lain, bahkan dia senang mencium aroma tanah sewaktu
air membasahinya. Seperti musim hujan, pikirnya. Karena matahari sebentar lagi akan
menyentuh jalan setapak di depannya, maka dia harus segera selesai menyiram
bunga-bunga tersebut. Supaya kalau si pemuda melewati jalan setapak nanti,
Lestari hanya perlu berpura-pura memandangi bunga-bunga dan melemparkan senyum.
Si pemuda akan membalas senyumnya dengan menoleh ke arahnya dan ke arah
bunga-bunga. Lalu Lestari kemudian akan memandangi punggung si pemuda hingga
menghilang di balik bangunan di ujung jalan.
Kaos
putih dan celana sebatas paha itu membuatnya merasa tidak minder. Bahkan kalau berdiri
di depan pelanggan yang berjas dan berdasi sekalipun. Cara berpakaian Lestari
yang demikian itu membuat si pemuda suka menatapnya.
Si
pemuda itu murah senyum. Tentu saja wanita itu pun menyukai si pemuda. Itulah
alasan lain dia melakukan tugas rutin menyiram bunga pagi-pagi. Sejak dia mulai
bekerja di sini dua bulan lalu, lima hari dalam seminggu si pemuda melewati
jalan setapak setiap pagi. Dengan tas punggung hitam dia menuju kampus di ujung
jalan. Mereka selalu saling melempar senyum. Oleh sebab itu Lestari tidak
pernah absen menyiram bunganya dan pemuda itu tidak pernah terlambat ke
kampusnya.
Ketika
menyiram bunga pagi ini, angin mulai bertiup. Daun pohon rambutan banyak yang
gugur dan Lestari jadi berpikir seseorang mesti membersihkan kotoran dari pohon
itu. Tapi itu bukan tugasnya, itu tugas satpam. Dia hanya menyiram bunga-bunga.
Tidak berapa lama, angin bertambah kencang sehingga Lestari ingat sekarang
sudah bulan oktober. Musim hujan akan datang kalau begitu. Tiba-tiba, dia
berharap semoga hujan menunda kedatangannya hingga bulan berikut. Biar dia yang
akan menyiram bunga-bunga itu. Karena hanya dengan menyiram bunga, dia akan
melihat pemuda yang sama setiap pagi.
Matahari
sebentar lagi menyentuh jalan. Biasanya hampir pukul setengah delapan kalau
demikian, maka si pemuda akan melewatinya. Bunga, matahari dan jalan setapak
adalah patokannya selama ini. Lestari tidak pernah memikirkan ketiga hal
tersebut lebih mendalam selain daripada petunjuk baginya. Dia hanya memandangi
keindahan dari bunga-bunga, menunggu matahari menyentuh jalan setapak, lalu
menyusuri jalan setapak tersebut dengan matanya sampai si pemuda menghilang.
Pada siang dan malam hari, dia tidak pernah memikirkan lagi ketiga hal
tersebut. Tetapi terhadap si pemuda, selain pagi-pagi, hampir sepanjang
waktunya wanita itu memikirkannya. Itulah istimewanya si pemuda dibandingkan
bunga, matahari dan jalan setapak.
Matahari
akhirnya menyentuh jalan. Lestari telah selesai dengan bunga-bunga itu, tetapi
dia masih berdiri. Menyamping antara bunga-bunga dan jalan setapak, sehingga
selain mampu memandang bunga dia juga bisa memperhatikan jalan setapak. Itu
yang dia lakukan selama dua bulan. Tidak berapa lama, seperti harapannya si
pemuda berada di jalan setapak itu. Kali ini dia mengenakan kemeja hitam
bergaris putih, celana jeans biru
pucat dan sepatu nike hitam.
Pakaiannya tidak ada yang baru, tetapi tidak berarti dia tidak pernah
menggantinya. Si pemuda hanya selalu merubah pakaiannya setiap hari padahal
Lestari sudah hafal semua yang dia kenakan setelah dua bulan.
Angin
menggoyang pohon rambutan. Jika musim hujan datang, maka dia tidak bisa melihat
si pemuda lagi, pikir Lestari lagi. Atau kalau dia bisa melihat si pemuda dari
balik kaca, maka si pemuda tidak akan tersenyum ke arahnya lagi. Lestari jadi
merasa aneh. Hatinya merosok. Walau tidak lama kemudian, dia melempar senyum
sebab si pemuda telah terlebih dahulu memberinya senyum. Dan seperti kemarin
Lestari kembali merasa bahagia. Dia melupakan pekerjaannya dan kegelisahannya.
Si pemuda tetap berlalu dengan senyuman sekilas. Kemudian, Lestari menjadi
tidak tahan. Dia ingat angin pagi ini membuatnya resah; tidak bisa menyiram
bunga lagi.
Dia
memanggil pemuda itu.
“Siapa
namamu?” tanya Lestari, dia gemetar karena si pemuda berhenti dan berpaling
melihatnya kini.
“Tolong,
siapa namamu?”
Si
pemuda menatap Lestari. Dia tidak terkejut. Hanya tersenyum seolah-olah sudah
menanti wanita itu memanggilnya.
“Mengapa
kamu baru menanyakannya sekarang?” tanya si pemuda. Itu mengejutkan Lestari.
“Karena
sebentar lagi akan turun hujan.” Jawab Lestari terus terang. Si pemuda mengerti
maksudnya.
“Oh,
saya juga berpikir demikian. Tetapi saya telah mengetahui bahwa musim hujan
akan datang sejak minggu yang lalu. Tetapi kamulah yang terlebih dahulu
memberitahunya.”
Mereka
tersenyum. Saling memahami kini.
“Mengapa
kamu tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya?” tanya Lestari.
“Karena
kau tidak akan percaya. Karena saya tahu seperti apa pekerjaanmu di tempat
ini.”
Lestari
menyesal sebab pemuda itu ternyata sama saja dengan para pria yang datang ke
sini.
“Lalu
mengapa kau masih tersenyum padaku setiap pagi? Pekerjaanku membuatmu
tertarik?”
“Tentu
saja. Saya tertarik padamu, lain dengan pekerjaanmu.”
Lestari
diam sebentar. Dia mencoba berada di sisi pemuda itu dan melihat pekerjaannya,
dirinya dan wanita-wanita di dalam sebagai sesuatu yang kotor. Dia melihatnya,
bahkan tanpa mengambil sudut pandang si pemuda.
“Maka
berhentilah tersenyum padaku, mumpung hujan akan turun dan aku tidak perlu
menyirami bunga-bunga lagi. Supaya aku tidak memiliki alasan setiap pagi.” Ucap
Lestari kecewa.
“Sebaliknya
Saya tidak akan berhenti melihat dan tersenyum padamu. Setiap pagi. Itulah
alasan saya selalu bangun pagi agar tidak terlambat melewati jalan setapak ini.
Karena tidak terlambat melewati jalan ini, maka kuliah selalu tepat waktu.”
“Jadi
apa keputusanmu? Karena mulai besok sesuatu mungkin akan berubah seiring
turunnya hujan.” Lestari memandang sekitar dan berpikir si pemuda bisa saja
terlambat tiba di kampus.
“Aku
tidak ingin merubah sesuatu, tetapi kalau terpaksa maka perubahan itu mesti
menguatkan alasan saya.” Si pemuda sekali lagi tersenyum. ”Pekerjaanmu bukanlah
alasan bagi. Tetapi kehadiranmu di samping bunga-bunga ini. Saya berharap,
mulai besok kau masih akan terus tersenyum. Siapa tahu kita berdua memang
berada di sini karena sebuah alasan yang sama.”
Kali
ini Lestari tidak sanggup menahan tawanya. Dia tidak perlu lagi merisaukan
musim hujan yang akan datang. Sebab alasannya setiap pagi bukanlah bunga-bunga,
tetapi si pemuda.
“Jadi,
siapa namamu?”
Si
pemuda ikut-ikutan tertawa.
“Tunggulah
besok. Kalau besok hujan turun dan kau masih menungguku dengan senyummu, maka
saya akan memegang tanganmu dan memperkenalkan diri.”
Si
pemuda menatapnya lalu melihat ke arah bunga-bunga. Matahari membuat mereka
tampak sangat indah, kata si pemuda dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar