Sabtu, 24 November 2012

DIA BUKAN NAMAKU

Oleh: Bertho Lojisua


Ada berpuluh-puluh mata memandangiku. Aku menyadarinya ketika aku mulai duduk pada kursi bambu di teras depan itu. Kadang mereka tersenyum tapi malu-malu lalu pergi. Ada yang tertawa, ada yang senang, ada mahluk sejenisku yang mengkerutkan keningnya lalu membuang muka. Ada yang datang hendak bernego ria lalu delapan puluh persen diantara mereka kalah nego di tempat kami. Dan kami menang dengan nilai yang kami ingini.

Aku kadang geli melihat tingkah mereka. Hampir sebagian mereka kalah nego karena terburu-buru atau gugup dan karena dahaganya tak tertahan dan terelahkan lagi. Umur mereka berbeda-beda, pernah anak ingusan belasan tahun datang dengan jumlah uang yang lumayan banyak. Dengan jumlah yang harus dikatakan dengan kata juta. Aku tak mau tahu dari mana dia mendapat uang tersebut. Yang ku pikirkan adalah bagaimana aku mendapatkan uang darinya. Dia pernah bernego dan aku menang. Tapi tak semua aku kosongkan isi saku kecilnya. Sebab aku masih punya nurani.

“………berapa kalau samapi pagi besok?”

“Menurut situ?”

“Lima ratus ribu?”

“Delapan ratus. Ga pake tawar-menawar lagi”. Lucu ku teringat kisah tawar-menawar jasa hasrat.

Demikian aku mengingat seorang perempuan berceritera tentang pengalaman masa lalunya padaku pada sebuah pertemuan tak sengaja di stasiun kereta. Perempuan di stasiun tersebut beceritera panjang lebar padaku seolah hari itu adalah hari terakhirnya hidup untuk berkisah. Banyak hal dan pelajaran yang terekam olehku dari bibir merah gincunya.

Aku membolak-balikan majalah ditanganku yang menuntun aku pada kisah perempuan di stasiun beberapa bulan lalu. Bosan dengan majalah, sambil menikmati kopi aku pun memindahkan chanel televisi. Rupanya hari ini semua acara televisi tak ada yang memaksaku untuk duduk betah. Aku sendiri menikmati kopi berteman sebungkus rokok pada rumah sewahan seorang lelaki pengusaha besar di kota ini. Lelaki yang ku kenal pada sebuah pertemuan tak disengaja beberapa bulan lalu. Di Puskesmas ketika hendak aku meminta surat keterangan sakit. Kini telah tiga cawu. Tiga catur wulan lebih kami mengenal. Lelaki yang mempunyai beberapa anak perusahaan di beberapa kota. Hidupnya hampir dihabiskan dengan jalan-jalan dan menikmati kehidupan dengan menghambur-hamburkan uangnya. Demikian orang memanggilnya bos besar atau si bos besar. Sementara ia mempersiapkan diri, aku duduk melongo lantaran geli melihat telivisi yang menyajikan para penyanyi Boy Band negeri ini dengan suara fals dan lagu-lagu mereka yang sebentar lagi usang dengan hitungan minggu. Mending melihat penyanyi lesehan atau penyanyi jalanan di kota ini. Mereka selalu meninggalkan rindu untuk kembali ke kota ini.

Tak lama berselang lelaki ini bersamaku berangkat ke sebuah kafe. Lumayan besar kafenya, dan cukup terkenal di kota ini. Di sana kami menikmati suasana kafe yang berkelap-kelip lampu. Dentuman musik yang keras membuat orang-orang di kafe semakin berjingkrak-jingkarak menjadikan diri mereka manusia paling bebas. Teriak, tawa, desah, semua jadi satu dengan irama musik. Aku telah terbiasa dengan situasi ini bahkan aku senang menikmati tempat ini. Bagiku menghibur dari pada menghabiskan hari di depan teras terus menerus.

Lelaki ini rupanya sudah lumayan terkenal wajahnya di kafe ini, hampir semua orang yang meliahatnya pasti melambaikan tangan, sambil berteriak ‘bos…!!! Hallo pak…’ kadang ada juga yang perutnya sama buncit dengan tampilan yang hampir sama memanggilnya dengan namanya atau ‘sobat’.

Aku duduk disampingnya sambil sesekali kami saling bercerita, berbisik-bisik, dan kami sangat akrab dimata para orang-orang di kafe ini. Aku selalu tersenyum ketika berbicara atau bertanya pada si bos besar atau kepada teman-temannya.

Seorang temannya yang memanggil si bos besar dengan sebutan ‘pak’, terseyum padaku sambil mengulurkan tangan.

“Aku Rony”

*******************

Kelap-kelip lampu mebuat aku sedikit kesulitan mengenali wajah orang yang agak berjauhan dengan jarak pandangku. Kecuali teman-temanku yang ku kenal gerak geriknya tanpa melihat wajahnya. Malam yang penuh kebebesan. Tempat orang-orang berlarih dari jenuh, tempat orang-orang menemukan dirinya terpuaskan dalam lampu-lampu suram. Para perempuan memperagakan tubuh mereka yang dibalut rok-rok tipis nan pendek, ada rok yang selebar sabuk juara tinju, dan temanku lebih suka mengganjari bentuk itu dengan sebutan ikat pinggang sambil terkekeh renyah. Semua orang di sini menebarkan aroma keperkasaan. Semua orang di sini tidak semuanya lugu seperti yang terlihat. Semua orang di sini hampir semua menipu diri, status, dan bahkan nama. Aku sendiri menipu namaku di sini, sedangkan bos besar, yang ku tahu dia mendiskonkan umurnya sekitar tujuh tahun dan mungkin lebih atau kurang sedikit dari yang dia sebutkan padaku. Padaku umurnya didiskon menjadi 28 tahun, padahal aku meliahat tampangnya telah berkepala tiga memasuki barisan kepala empat.

Sebuah malam yang harus ku lalui dengan ditemani musik-musik keras, diapiti manusia-manusia sejenis bos besar, berjejer botol-botol bir, dan berbagi minuman berlebel lainnya dengan harga yang membuat kepala menggeleng dan lidah berdesis-desis. Tetapi bagi orang-orang di kafe ini, harga minuman dengan sebotol mencapai tujuh ratus ribu atau bahkan diatas sejuta bukan menjadi soal, dan bukan sebuah hal yang patut digelengkan dengan kepala sambil lidah ujung lidah menyentuh gigi depan lalu sedikit menyentuh langit depan bagian atas untuk mengeluarkan suara desis. Itu tak lagi meninggalkan soal bagi kami di sini, sebab kami di sini memiliki bos besar yang siap membayar segalanya. Termasuk pemilik sabuk tinju sekalipun yang hampir tak mungkin bila harga untuk membayar sabuk tinjunya cuma sekian lembar rupiah, namun bagi bos besar, ia bisa membayar dua kali lipat untuk harga sabuk tinju tersebut atau ikat pinggang.

Malam terasa semakin dingin dan semakin enak dinikmati. Seperti meminum kopi kata sahabatku, ‘semakin dingin semakin nikmat’. Aku tak tahu entah berapa banyak gelas minuman yang jika dibotolkan telah kuhabiskan di malam ini. Berapa banyak rokok kujatuhkan abunya yang jika di batangkan bahkan dibungkuskan telah ku senyapkan ke paru-paruku bersama asap  di malam ini. Ada rasa percaya diri yang aneh ketika kepalaku semakin pusing namun aku masih mengontrol diriku. Semampu kesadaranku. Aku berpikir bahwa inilah aku. Dan aku bertanya pada malam ini.

“Inikah aku yang diciptakan, apakah ini duniaku?” aku bertanya pada kelap-kelip lampu kafe ini.

“Hahahahahahahaha…….hahaha haha…….”

“Yah inilah hidup, penuh kelap-kelip”

“Gila……kog bisa yah kamu mengatakan begitu”. Semua suara tak jelas masuk ke telingaku.

“hahahahaha…..haha!!”

Aku lantas tertawa ketika aku tak mau menjawab tanyaku, ketika orang-orang disekelilingku juga sedang ‘yang entah’ menertawakan apa. Ku lihat pasangan lelaki sebayaku dan perempuan be-rok sabuk tinju putih di depanku sedang bermesraan menggendong botol-botol minuman. Kami bercerita tentang semua yang kami miliki, semua yang kami cita-citakan, semua kata-kata yang ada pada mulut kami, tak segan dimuntahkan. Dunia ini seperti begitu sempit bagiku, aku rasa bahwa aku tinggal selangkah lagi akan menggengam dunia ini lalu meremuk-remuknya sepuas yang ku bisa.

Semakin dingin kulit tubuhku dan kadang ku rasa semakin panas dadaku. Semakin banyak pula minuman yang aku dan kami habiskan bersama. Sesekali aku tersandar pada sofa, kadang pada tubuh orang disampingku, lalu ku bangkit lagi dengan sejuta senyum di bibir dan cahaya di mata. Ku jatuh lagi.

Samar-samar suara orang berteriak dan berbisik-bisik disampingku masih ku rasakan.

“Ayo bangun kog nyerah sih,,hahahaha!” terdengar suara perempuan diselingi suara laki-laki.

“Udah semaput ni yeaaah……, hahahahaha..hahahaha..haha..ha..h!!”

Aku lantas bangun lagi setelah labun-an sialan tak bersasaran masuk ke telingaku. Aku habiskan lagi minuman di gelas-gelas kaca yang ditembusi cahaya kelap-kelip lampu malam. Samar. Suram. Itu yang kurasa. Aku rebahkan kepalaku entah pada sofa, pada perempuan bersabuk tinju atau pada bos besar di sampingku. Entah.

Aku tak sadarkan diri dan hanya sekejab terasa gerayangan tangan pada ubunku, dan-lalu-seterusnya. Seterusnya. Dan ouuh. Lalu tak sadarkan diri lagi.

Tak lama lantunan musik slow Indonesia mengalun di telingaku. Aku sadar seketika. Aku telah berada di tempat yang berbeda, pada tempat tidur yang mewah nan lembut dengan ruangan yang besar. Televisi juga menyala.

“Aku di mana?” tanyaku setengah sadar.

“Ini pasti tempatnya si bos besar”

“Ah sialan, semalam mengapa ku tak pernah sadar?” Tak lama ku mulai merasakan badanku semakin perih. Rambutku berantakan terurai. Pakaianku pun demikian. Tak ada siapa-siapa kecuali aku yang hidup di kamar ini. Laguh-lagah seperti masih ku rasa.

*****************

“Aku Rony”

“Oh Rony, aku Bunga” sambil cepat-cepat kulepaskan tanganku dari genggamnya.

“Nama yang cantik, seperti orangnya” puji Rony memandangi wajahku penuh tanya sambil menyembunyikan raut keheranannya pada diriku, sebab Rony adalah teman sekampusku, dulu kami pernah dekat namun tak lebih dan sekarang masih berbagi lewat pesan singkat. Aku tak ubahnya wanita pada televisi yang kemarin ku tonton. Cuma wanita tersebut menempatkan dirinya secara nyata dan aku sebagai simpanan. Aku tak nyata. Tak terlihat. Pagi dan siang aku berwarna layaknya aku dan malam aku berwana yang bukan warnaku sebenarnya. Tetapi aku telah terbiasa. Aku telah memilih.

Aku ingat waktu semalam aku memalsukan namaku pada Rony di remang kelap-kelip lampu. Membuatnya berwajah tanya padaku. Begitulah aku semalam demikian semua orang di kafe itu, mereka bertopeng, sulit untuk ditebak. Semua adalah kepalsuan yang terlihat. Sebab semua adalah lakon dari kepalsuan dan semua mereka tahu lantas saling melihat dan bertanya pada diri sendiri, “inikah aku?”, “siapakah dia?”. Begitupun Rony, dia tak pernah mengira bahwa ini aku kemudian bertanya tentangku dan pada dirinya, “siapakah aku?”. Dia tak pernah mengira malam tadi aku telah menjadi Bunga dengan seribu aroma. Aku cantik dengan tinggi semampai berambut hitam lurus terurai di kepalaku. Yah. Namaku Laura. Dan Bunga, dia bukan namaku. Bukan aku lantas ingin mendapat bayaran berdasarkan nego-negoan seperti perempuan berbibir merah gincu pada stasiun kereta, sambil duduk pada kursi bambu memotong kuku dan meriasnya. Aku berbeda, sebab aku punya segalanya dari segi materi pun emosi, kecuali akhir dari kehidupan malam yang belum ku punya. Aku masih mencari akhir di sana. Pada gelas-gelas kaca berikutnya yang menghadangku. Aku adalah Bunga, dengan rupa mekar yang indah yang ku buat untuk ku nikmati sendiri. Aku meng-iya-kan itu. “Dan akankah berakhir???” Itu persoalan waktu. Yang entah.



Djogja: 'di malam yang tak pernah gelap'


Gadis Pada Tapal Senja


Oleh: Bertho Lojisua
doc.pribadi/paris.jogja
Semakin lama Ia tak menemukan sosok sahabatnya, sosok yang kini masih diingat sebagai sebuah sejarah masa lalu, penuh dengan muatan kisah dan cerita. Tak ada yang nyata, kecuali membaca sms darinya atau sesekali mendengar suaranya yang menembusi awan, kabut, lembah pun gunung yang menjulang dengan dihinggapi tebing-tebing curam. Demikian padatnya rutinitas yang mungkin membuat mereka tak pernah saling menyapa dan berbagi cerita sambil minum teh yang dituang dari satu teko yang sama. Atau mungkin perjalanan yang berkelok, sempit, padat, macet lalu melelahkan ketika ingin mecapai tempat pertemuan antara mereka. Atau kah karena mahalnya sembako yang menghadang mereka untuk menyisipkan sedikit uang perjalanan.

Lima tahun sudah berlalu, dan gadis ini pun tak pernah lagi minum teh dari satu teko yang sama, seperti lima tahun lalu ketika Ia masih sama bersekolah dengan sahabat itu, yang telah lima tahun hilang dari tatapan matanya. Mengail ikan dalam satu pantai yang sama lalu diselimuti dinginnya senja yang sama yang memaksa mereka tuk pulang dalam satu jalan yang sama, satu tema cerita yang sama.

“Hah…lebih baik aku melupakan semuanya itu ” demikian gadis itu berguman bisu dalam hatinya, karena Ia merasa jenuh, karena lama terus terkurung dalam kenangan-kenangan saat bersama sahabat spesialnya dan sahabat-sahabatnya. Tak bermaksud untuk melupakan, atau membenci pada keindahan masa lalu, namun keindahan itu kian luntur, dan tak sampai hati Ia menyaksikan keindahan itu rapuh lalu roboh tepat di wajahnya menusuk dalam ingatannya. Hari berlalu, namun kenangan itu terus mengekor pada dirinya dari belakang, kadang sesekali menghadangnya dari depan. Ia pun tak peduli, walau sebenarnya menikmati sambil terus melangkah dengan senyum dan keyakinan. “ Suatu saat kita kan bertemu dalam satu perjamuan teh, dan saling menuangkan teh dari satu teko yang sama, maafkan aku bila mencoba melupakan tentang kita.” Senja kian indah memudar di bibir pantai dan Ia terus melangkah mengurai senja yang semakin sampai pada tapal batasnya.

Awal Juli; 'kala senja telah berubah'



Jumat, 23 November 2012

Negeri Yang Terpasung


Mereka se-but tanah kita

Tanah subur

Sebagian lagi bilang

Rakyat kita harus makmur

tetapi ironis, hari ini kita masih terjajah oleh kesuburan kebohongan

Kita belum merdeka menjadi bangsa yang makmur

Betapa tidak? Beribu hetar lahan petani digusur oleh rekayasa kapital..

Rakyat kita dijual atas nama globalisasi

Kekayaan alam kita habis di keruk lantas diprivatisasi

Negeri ini ter-obral, dan kamu ter-gadai kawan, pun kita..

Ini mimpi negeri yang terpasung. . .


                Hari ini masih ada yang kelaparan, tergusur dan miskin, tetapi

                Laut kita luas, tanah kita subur, air kita melimpah, tetapi

                Kita t’lah dibodohi, lantas mahalnya biaya pendidikan

                Kita harus menjadi kuli-budak di tanah kita sendiri

                Sebagian berebutan air hingga nyawa melayang

                Hah…inikah kita yang mesti terpasung di tanah sendiri

                Akhiri, akhiri kawan..dengan gagasmu yang bertindak. . .

               

Bertho-230910’ untuk sebuah renungan yang sesal’

'NANTI'


Bisu memandang kalut

Lembam sukma ini serperti tahu sakit

Nanti. . .

Nanti dan nanti menunggu sekuat nanti

Berlalu waktu tak terbendung oleh kau sekalipun aku

Diri ini mengaku bahwa ia akui kau ialah nanti

Nanti yang menggerayangi malam menikam mentari

Nanti yang memeluk bayang hingga pada bunga malam

Jangan lama kau menjadi nanti padaku

Nanti lama pun nanti kan menggerangi malamu seperti di sini. . .

 


Bertho ‘pada nanti yang dengan setitik cahya’