Kamis, 22 November 2012

KADAR APRESIASI BUDAYA INDONESIA


Oleh: Bertho Loji Sua

Kaya budaya miskin apresiasi, sepenggal kalimat ini mungkin satu dari sekian tutur keprihatinan saya dari berjuta rakyat Indonesia yang mencintai budaya dan tradisi Indonesia yang semakin tergerus dalam gelombang globalisasi.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Anugerah terbesar yang dipunyai oleh kita ialah bahwa kita memiliki keberagaman budaya dan tradisi yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di samping keanekaragaman lainnya. Bila kita merujuk dari Sabang sampai Merauke kepemilikan budaya ini sangat unik di setiap daerahnya. Baik budaya dalam bentuk tutur seperti bahasa dan nyanyian, maupun budaya  dalam bentuk ritus-ritus adat atau unsur simbolis yang dapat kita jumpai seperti candi atau rumah dan pakaian adat.
Kebudayaan dan tradisi Indonesia terwujud sejak beratus-ratus tahun lalu yang diwariskan turun-temurun hingga saat ini. Namun demikian seiring perkembangan dan perubahan jaman, warisan kekayaan kita dalam budaya dan tradisi mengalami sebuah degradasi. Timbulnya degradasi budaya ini tidak terlepas dari benturan globalisasi yang menyajikan kemodernan dunia. Kemudian saat ini yang kita saksikan ialah pertarungan antara unsur budaya dan globalisasi.
Dengan hadirnya globalisasi duni menjadi tanpa batas, sehingga selain dampak positif dampak negativ ialah membesarnya ancaman degradasi budaya pada masyarakat modern kini. Menurut Anthony Giddens (2005), masyarakat modern merupakan produk dari tiga perkembangan yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu negara-bangsa, kapitalisme dan industrialisme. Ketiga elemen inilah yang hidup ditengah-tengah kita saat ini dan saling mempengaruhi.
Kita seakan tidak bisa menolak dua hal ini, antara budaya tradisi Indonesia dan globalisasi dengan sajian kemodernnya. Sebab keduanya sangat dekat dengan kita setiap waktunya. Namun yang menjadi kebutuhan kita saat ini adalah mempertahankan budaya dan tradisi Indonesia yang semakin hari seperti semakin tergerus oleh derasnya arus globalisasi yang tak terbendung.
Negeri ini kaya raya budayanya, dan menjadi ironi ketika kita tidak menyadarinya sebagai sebuah bentuk jati diri kita atau kita menyadarinya namun tidak mempedulikannya. Kekayaan budaya Indonesia ini kemudian hanya menjadi sebatas kekayaan hampa. Akan menjadi tanpa roh ketika warisan budaya kita tidak diapresiakan oleh masyarakat kita sendiri yang nota benenya telah larut dalam pusaran globalisasi.
Mengapresiasi berarti upaya mengenali, menilai, dan menghargai bobot seni atau nilai seni, kesadaran terhadap nilai seni dan budaya. Kurangnya apresiasi terhadap budaya dan tradisi yang kita miliki menjadi sisi kelemahan bangsa saat ini. Yang menjadi pertanyaan mengapa apresiasi kita terhadap budaya sangat kurang? Ini jelas bahwa perhatian kita terhadap pelestarian kebudayaan masih jauh dari panggang, sehingga kelestariannya pun berangsur terancam. Kerencancaman budaya ditengah pusaran globalisasi dipengaruhi oleh miskinnya apresiasi bangsa dapat dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama, lemahnya peran pemerintah dalam memperhatikan kebudayaan Indonesia untuk dilestarikan atau dipertahankan. Ada beberapa budaya Indonesia yang diklaim oleh negara lain. Namun tindak tegas dari pemerintah kemudian hanya menjadi sebatas pidato kenegaraan yang akan usam tanpa tindak lanjut yang pasti.
Kedua, bahwa pembelajaran untuk pengenalan kebudayaan, seperti seni, bahasa dan tarian pada tataran sekolah masih sangat rendah atau minim. Menjadi ironi bahwa ketika anak di Indonesia tenggelam dalam pengaruh globalisasi, sementara itu ratusan sekolah di Malaysia dan Singapura memiliki dan mempelajari alat musik tradisional Indonesia. Ini berarti musik tradisional kita diapresiasikan oleh negara lain. Namun yang menjadi ancaman ialah adanya kemungkinan suatu saat generasi kita belajar angklung dan gamelan pada negara tetangga, jika sejak dini tidak ditanamkan rasa cinta pada warisan budaya bangsa.
Ketiga, tidak adanya upaya memberikan ruang atau media yang melibatkan seluruh elemen masyrakat dalam mengekspos sekian budaya yang mereka miliki. Jika ini dilakukan maka dunia akan mengenal bahwa inilah budaya kita, yang kita miliki. Sehingga dengan demikian upaya pengklaiman sekian budaya yang kita miliki dapat berkurang. Ini juga kembali lagi pada keterlibatan pemerintah dalam memfasilitasikannya.
Ketiga gambaran di atas mewakili dari sekian pengaruh lemahnya apresiasi akan budaya bangsa di tengah pusaran globalisasi saat ini. Kita seperti membiarkan diri terus menerus tergerus kedalamnya dan meninggalkan akar budaya di mana kita terlahir. Sehingga memanfaatkan keterlenaan kita beberapa negara membidik beberapa kebudayaan kita yang terlupakan kemudian diklaim sebagai miliknya. Setelah munculnya isu tentang pengklaiman oleh negara lain pada hasil-hasil budaya kita, kesadaran berulah menyusul dari belakang. Bahwa melestarikan dan mengapresiasikan budaya adalah penting dilakukan saat ini.

Belum Terlambat
Sekian persoalaan tentang benturan budaya dan globalisasi serta pengaruhnya yang mucul menjadi pelajaran berarti buat kita. Bahwa budaya kita adalah warisan leluhur yang harus dilestaraikan dan diapresiasikan sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia di era sekarang ini. Proses perlestarian dan apresiasi ini bukan menjadi tugas individu, organisasi atau golongan tertentu namun menjadi tugas dan tanggungjawab kita semua.
Dengan demikian, upaya-upaya untuk tetap melestarikan khasanah budaya yang kita miliki hendaklah tidak menjadi sebatas wacana lepas. Sebab sudah sekian banyak wacana yang dilontarkan untuk memerangi degradasi budaya namun tindakan riil belum terlalu tampak dipermukaan. Peran pemerintah menjadi domain utama dalam krisis budaya ini disamping peran aktif masyarakat lokal.
Sekiranya masalah krisis dan degradasi budaya di hari ini, bukanlah sebuah persolan yang harus ditempatkan pada nomor kesekian dalam kebijakan dan upaya penyelesaiannya. Pemerintah dewasa kini, cendrung disibukan pada urusan hubungan ekonomi dengan investasi yang besar-besaran, kasus korupsi dan suap-meyuap, atau wisata politik. Kesemuanya itu demi pembangunan bangsa. Dan itu adalah benar. Namun kita juga perlu melihat lagi tentang kesetaraan antara konsep pembangunan (politik) bangsa dan konsep pembangunan mentalitas bangsa. Yaitu kuatnya budaya dan tradisi dalam masyarakat. Untuk itu lambannya penyelesaian persoalan seputar politik akan menghambat giliran pembangunan metalitas bangsa.
Dalam era globalisasi ini jika budaya dibiarkan hidup tanpa didampingi dengan upaya pembelajaran, pelestarian dan apresiasi dari masyarakat yang bersangkutan. Niscaya budaya kita seperti seni tari dan sebagainya akan direbut oleh bangsa lain atau mati menggenaskan tinggal nama tanpa wujud pada ingatan dan cerita pada generasi ke generasi tanpa bukti nyata. Relakah kita jika tarian Kuda Gepang dari Kalimantan Selatan, Cakalele dari Maluku atau Ja’i dari kabupaten Ngada di Flores, serta tarian lainnya yang belum banyak diketahui umum diklaim lagi oleh bangsa lain dikarenakan lemahnya proteksi dan apresiasi kita terhadap budaya sendiri? Keraguan ini senyatanya tidak mungkin terjadi bila kita terus berupaya melestarikan budaya yang kita miliki, namun akan menjadi mungkin jika kita mulai gagap apresiasi terhadap budaya Indonesia dan mengabaikannya sebagai sebuah persoalan kecil.


Daftar Pustaka
Buku:
Ohmae,”Kenichi Hancurnya Negara-Bangsa, Bangkitnya Negara-Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas” Qalam, Yogyakarta, 1995.
Internet:

1 komentar: