Oleh: Bertho Loji Sua
Kaya
budaya miskin apresiasi, sepenggal kalimat ini mungkin satu dari sekian tutur
keprihatinan saya dari berjuta rakyat Indonesia yang mencintai budaya dan
tradisi Indonesia yang semakin tergerus dalam gelombang globalisasi.
Indonesia
merupakan negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Anugerah terbesar yang
dipunyai oleh kita ialah bahwa kita memiliki keberagaman budaya dan tradisi
yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di samping keanekaragaman lainnya. Bila
kita merujuk dari Sabang sampai Merauke kepemilikan budaya ini sangat unik di
setiap daerahnya. Baik budaya dalam bentuk tutur seperti bahasa dan nyanyian,
maupun budaya dalam bentuk ritus-ritus
adat atau unsur simbolis yang dapat kita jumpai seperti candi atau rumah dan
pakaian adat.
Kebudayaan
dan tradisi Indonesia terwujud sejak beratus-ratus tahun lalu yang diwariskan
turun-temurun hingga saat ini. Namun demikian seiring perkembangan dan
perubahan jaman, warisan kekayaan kita dalam budaya dan tradisi mengalami
sebuah degradasi. Timbulnya degradasi budaya ini tidak terlepas dari benturan
globalisasi yang menyajikan kemodernan dunia. Kemudian saat ini yang kita
saksikan ialah pertarungan antara unsur budaya dan globalisasi.
Dengan
hadirnya globalisasi duni menjadi tanpa batas, sehingga selain dampak positif
dampak negativ ialah membesarnya ancaman degradasi budaya pada masyarakat
modern kini. Menurut Anthony Giddens (2005), masyarakat modern merupakan produk
dari tiga perkembangan yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu negara-bangsa,
kapitalisme dan industrialisme. Ketiga elemen inilah yang hidup ditengah-tengah
kita saat ini dan saling mempengaruhi.
Kita
seakan tidak bisa menolak dua hal ini, antara budaya tradisi Indonesia dan globalisasi
dengan sajian kemodernnya. Sebab keduanya sangat dekat dengan kita setiap
waktunya. Namun yang menjadi kebutuhan kita saat ini adalah mempertahankan
budaya dan tradisi Indonesia yang semakin hari seperti semakin tergerus oleh
derasnya arus globalisasi yang tak terbendung.
Negeri
ini kaya raya budayanya, dan menjadi ironi ketika kita tidak menyadarinya sebagai
sebuah bentuk jati diri kita atau kita menyadarinya namun tidak
mempedulikannya. Kekayaan budaya Indonesia ini kemudian hanya menjadi sebatas
kekayaan hampa. Akan menjadi tanpa roh ketika warisan budaya kita tidak
diapresiakan oleh masyarakat kita sendiri yang nota benenya telah larut dalam
pusaran globalisasi.
Mengapresiasi
berarti upaya mengenali, menilai, dan
menghargai bobot seni atau nilai seni, kesadaran terhadap nilai seni dan budaya.
Kurangnya apresiasi terhadap budaya dan tradisi yang kita miliki menjadi sisi
kelemahan bangsa saat ini. Yang menjadi pertanyaan mengapa apresiasi kita
terhadap budaya sangat kurang? Ini jelas bahwa perhatian kita terhadap
pelestarian kebudayaan masih jauh dari panggang, sehingga kelestariannya pun
berangsur terancam. Kerencancaman budaya ditengah pusaran globalisasi
dipengaruhi oleh miskinnya apresiasi bangsa dapat dipengaruhi oleh beberapa
hal.
Pertama, lemahnya peran pemerintah dalam
memperhatikan kebudayaan Indonesia untuk dilestarikan atau dipertahankan. Ada
beberapa budaya Indonesia yang diklaim oleh negara lain. Namun tindak tegas
dari pemerintah kemudian hanya menjadi sebatas pidato kenegaraan yang akan usam
tanpa tindak lanjut yang pasti.
Kedua, bahwa pembelajaran untuk
pengenalan kebudayaan, seperti seni, bahasa dan tarian pada tataran sekolah
masih sangat rendah atau minim. Menjadi ironi bahwa ketika anak di Indonesia
tenggelam dalam pengaruh globalisasi, sementara itu ratusan sekolah di Malaysia
dan Singapura memiliki dan mempelajari alat musik tradisional Indonesia. Ini
berarti musik tradisional kita diapresiasikan oleh negara lain. Namun yang
menjadi ancaman ialah adanya kemungkinan suatu saat generasi kita belajar
angklung dan gamelan pada negara tetangga, jika sejak dini tidak ditanamkan
rasa cinta pada warisan budaya bangsa.
Ketiga, tidak adanya upaya memberikan
ruang atau media yang melibatkan seluruh elemen masyrakat dalam mengekspos
sekian budaya yang mereka miliki. Jika ini dilakukan maka dunia akan mengenal
bahwa inilah budaya kita, yang kita miliki. Sehingga dengan demikian upaya
pengklaiman sekian budaya yang kita miliki dapat berkurang. Ini juga kembali
lagi pada keterlibatan pemerintah dalam memfasilitasikannya.
Ketiga gambaran di atas mewakili
dari sekian pengaruh lemahnya apresiasi akan budaya bangsa di tengah pusaran
globalisasi saat ini. Kita seperti membiarkan diri terus menerus tergerus
kedalamnya dan meninggalkan akar budaya di mana kita terlahir. Sehingga
memanfaatkan keterlenaan kita beberapa negara membidik beberapa kebudayaan kita
yang terlupakan kemudian diklaim sebagai miliknya. Setelah munculnya isu
tentang pengklaiman oleh negara lain pada hasil-hasil budaya kita, kesadaran
berulah menyusul dari belakang. Bahwa melestarikan dan mengapresiasikan budaya
adalah penting dilakukan saat ini.
Belum
Terlambat
Sekian persoalaan tentang benturan
budaya dan globalisasi serta pengaruhnya yang mucul menjadi pelajaran berarti
buat kita. Bahwa budaya kita adalah warisan leluhur yang harus dilestaraikan
dan diapresiasikan sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia di era sekarang
ini. Proses perlestarian dan apresiasi ini bukan menjadi tugas individu,
organisasi atau golongan tertentu namun menjadi tugas dan tanggungjawab kita
semua.
Dengan demikian, upaya-upaya untuk tetap
melestarikan khasanah budaya yang kita miliki hendaklah tidak menjadi sebatas
wacana lepas. Sebab sudah sekian banyak wacana yang dilontarkan untuk memerangi
degradasi budaya namun tindakan riil belum terlalu tampak dipermukaan. Peran
pemerintah menjadi domain utama dalam krisis budaya ini disamping peran aktif
masyarakat lokal.
Sekiranya masalah krisis dan
degradasi budaya di hari ini, bukanlah sebuah persolan yang harus ditempatkan
pada nomor kesekian dalam kebijakan dan upaya penyelesaiannya. Pemerintah
dewasa kini, cendrung disibukan pada urusan hubungan ekonomi dengan investasi
yang besar-besaran, kasus korupsi dan suap-meyuap, atau wisata politik.
Kesemuanya itu demi pembangunan bangsa. Dan itu adalah benar. Namun kita juga
perlu melihat lagi tentang kesetaraan antara konsep pembangunan (politik) bangsa
dan konsep pembangunan mentalitas bangsa. Yaitu kuatnya budaya dan tradisi
dalam masyarakat. Untuk itu lambannya penyelesaian persoalan seputar politik
akan menghambat giliran pembangunan metalitas bangsa.
Dalam era globalisasi ini jika
budaya dibiarkan hidup tanpa didampingi dengan upaya pembelajaran, pelestarian
dan apresiasi dari masyarakat yang bersangkutan. Niscaya budaya kita seperti
seni tari dan sebagainya akan direbut oleh bangsa lain atau mati menggenaskan
tinggal nama tanpa wujud pada ingatan dan cerita pada generasi ke generasi
tanpa bukti nyata. Relakah kita jika tarian Kuda
Gepang dari Kalimantan Selatan, Cakalele
dari Maluku atau Ja’i dari kabupaten
Ngada di Flores, serta tarian lainnya yang belum banyak diketahui umum diklaim
lagi oleh bangsa lain dikarenakan lemahnya proteksi dan apresiasi kita terhadap
budaya sendiri? Keraguan ini senyatanya tidak mungkin terjadi bila kita terus
berupaya melestarikan budaya yang kita miliki, namun akan menjadi mungkin jika
kita mulai gagap apresiasi terhadap budaya Indonesia dan mengabaikannya sebagai
sebuah persoalan kecil.
Daftar
Pustaka
Buku:
Ohmae,”Kenichi Hancurnya
Negara-Bangsa, Bangkitnya Negara-Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia
Tak Terbatas” Qalam, Yogyakarta, 1995.
Internet:
kalimatnya bagus bro boleh ni blajar nyusun bahasa di kti
BalasHapus