"Gadis Pada Tegukan Kopi"
Oleh: Bertho Lojisua
Wajahnya
masih meninggalkan aroma sepenggal kisah yang dia sendiri terkadang merasa
bersalah, namun di sudut yang lain dia merasa bahwa itulah dia yang berjalan
dalam pilihan tepat. Kadang dirinya berpikir sambil melihat bintang yang dapat
dihitung dengan jari. Dia menghembuskan napas sejenak yang memang sedari tadi
terasa sesak bagai disumbat sabut kelapa. Malam telah mengetahui semua yang
sejak soreh telah terjadi, sebelum senja mati dan menyerahkan titahnya pada
gelap. Sahabat-sahabatnya telah menanti kabar yang akhirnya harus memberi
kata-kata, senyum dan semuanya yang menguatkan hatinya. Diwajahnya terbentang
hamparan pilu, ditemani blukar cerita yang harus disimpan dalam ingatannya
tentang hari itu. Kadang dia menggeleng kepalanya seakan berkata “hadapilah
dengan senyum”.
“Oh..Tuhan
mengapa aku harus memilih…??!”
“Harusnya
hari ini aku memutuskan untuk memilihnya sebatas cerita yang prematur”
“Hah……harusnya
aku menunda”
Begitulah
dia berbisik kecil sambil melihat asap rokoknya yang berterbangan melingkari
tubuhnya yang rapuh dan menopangi hati yang patah. Di sebuah teras kontrakan
teman-temannya bernyanyi riang hingga suara gitar yang bertahan dan menutupi
suara-suara mereka. Mungkin tenggorokannya sudah sakit. Semua tentang mereka,
tentang hari kemarin , pun hari esok telah dibedah dalam cerita dan khayalan
konyol. Dalam suasana berempat di teras kontrakan, dia seakan tak merasa
apa-apa kecuali bayangan pujaan hatinya yang terus menempel di punggungnya.
Kadang dia mengembuskan napas panjang, sebab banyangan itu terlalu berat dan rumit ditinggalkan.
Dia
telah mengenal seorang gadis. Gadis yang cukup cantik, tapi lebih manis dari
gadis-gadis manapun, seperti madu hutan diantara madu-madu oplosan dalam satu
kemasan botol yang sama. Gadis itu begitu natural tidak seperti gadis-gadis di
TV yang berpura-pura cantik dan seksi, dan di luar TV lainnya yang meniru
gadis-gadis di iklan pura-pura cantik. Kadang dia berpikir apakah gadis yang
telah mengikat hatinya juga berpura dengan obat pura-pura yang lebih mahal
sehingga dia begitu natur.
“Ah
tidak mungkin..!!!!!”
“Aku
tidak merasa aroma pura-puranya ketika tadi kami berapat-rapat”
“Tapi
tidak apa lah, kalau demikian, sesekali boleh juga kalau terhipnotis oleh arus
modernisasi yang berlebihan. Asalkan dalam menu makan setidaknya ada tahu, tempe
atau pisang branga, ada jagung dan beras lokal”
“Setidaknya
mengingbangi menu-menu modernisai dalam globalisasi yang ditawarkan di TV dan
tersaji di berbagai super market atau sejenisnya”
Setelah
bergumul dengan pikirannya sendiri, dia merasa sedikit puas karena telah
melupakan bayangan gadis itu. Tak sengaja dia kembali melihat ke belakang, dan
bayangan gadis itu masih menempel di pundaknya. Hatinya kembali rapuh, jiwa pun
patah terurai melayang tak terarah.
Jey
kemudian menuju ke kamarnya untuk menenangkan diri, setelah bercerita ke sana
kemari dengan teman-temannya. Berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja,
seperti hari kemarin bersama sang gadis, namun hal itu masih belum dapat
diterimanya.
**********
Rupanya
Jey telah kehilangan semangat, seperti direbut hartanya satu-satunya di atas
meja perjudian murahan dengan taruhan yang seharusnya tak boleh dipertaruhkan.
Kepalanya masih menyimpan ingatan akan jari-jari gadis itu. Jari-jari yang
lembut bagai hati pemiliknya. Hatinya masih menyimpan separoh tekat untuk tetap
menunggu walau separohnya telah diisi rasa putus asa, rasa bimbang, lebih-lebih
merasa bersalah oleh sikapnya.
Kamarnya
begitu lumayan rapi tertata, dalam ukuran seorang anak laki-laki yang sedikit
sibuk dengan sebuah rutinitas. Sebuah lagu disetel sejak soreh masih setia
bernyanyi menemani segelas kopi dingin sejak soreh masih terpaku menanti sebuah
berita baik darinya. Ia telah
meninggalkan si hitam itu hanya untuk sebuah pertemuan dengan sang gadis
berparas sederhana.
Waktu
telah berlalu seiring Jey mengenal gadis tersebut, cukup lama dalam ukuran
sebuah perkenalan, yang akhirnya membentuk sebuah bentuk waktu dalam bulan,
entalah dalam berapa bulan Jey telah sedikit lupa.
Ditegukan
segelas kopi bersama gadis itu yang selalu setia menemaninya dalam waktu yang
cukup lama. Di malam yang pekat, di pagi dengan kedamaian dan hiruk pikuk, di
soreh hari yang penuh kepanikan dan senyum menyambut terang benderang
lampu-lampu jalanan kota, gadis itu tetap setia menemaninya. Masih diingatnya
ketika di sebuah senja dia dan gadis berparas sederhanya berjalan menyusuri
jalan-jalan berpolusi oleh asap kendaraan yang tak terbendung, menebusi
lorong-lorong yang enggan dan takut dilalui oleh para pejabat-pejabat daerah,
karena mereka malu sudah telah membohongi orang-orang di sekitar lorong-lorong
kumuh dengan janji-janji palsu. Namun kehidupan di lorong panjang itu masih
setia pada penderitaannya seperti periode-periode kemarin, tak berubah, malah
semakin parah tak terkendali.
“Mungkin
pejabat-pejabat kita terlalu banyak terhipnotis oleh iklan pura-pura cantik dan
tampan oleh para penjajal iklan yang berkolaborasi dengan pengendali
globalisasi, hingga mereka takut untuk keluar pada lorong- lorong kumuh, sebab
kulit mereka akan rusak”
Jey
menjawab pertanyaan gadis berparas sederhana itu ketika menyusuri lorong kumuh
tersebut.
“kenapa
pemerintah tidak memperhatikan lorong ini, kasian ya para penghuninya??” Tanya
sang gadis berparas sederhana pada Jey yang sedang berkonsentrasi mengendarai
motor menyusuri lorong kumuh tersebut.
Sebab
di lorong itu jalan adalah segalanya, sebagai jalan, lahan bermain, tempat
ibu-ibu tua bercerita ria sambil mencari kutu sebab mereka tak punya hiburan,
setidaknya pekerjaan, tempat ibu-ibu-ibu muda menyusui bayinya yang belum tentu
besok masih hidup di lorong itu. Karena mereka akan mati kekurangan makanan
atau di jual pada orang-orang kaya dan mandul dengan harga murah menggiurkan.
Jey
meneguk kopi dinginnya untuk kedua kalinya setalah kopinya ditinggal pergi
soreh tadi. Gadis berparas sederhana itu masih di sampingnya. Jey selalu
menginginkan agar dia segera pergi, karena malam semakin larut dan Jey pun
ingin tertidur pulas malam ini lalu menghabiskan mimpinya yang terpenggal di
malam kemarin hingga pagi melumatnya dalam dingin dan tersadar untuk memulai
hari baru. Jey masih mengingat dan terus mengingat tentang perjalanannya
bersama sang gadis pujaan jiwa dan hatinya, ketika mereka menyusuri
lorong-lorong kumur di soreh tadi sambil bercerita, dan sambil bertanya tentang
apa yang ada di benak masing-masing. Namun Jey masih mengingat ketika soreh
tadi dia hanya ingin jujur tentang
gejolak jiwanya, tentang harus memulai dari mana Jey mengatakan rasa sayangnya
pada gadis itu yang kini menemaninya dalam tegukan kopi yang ke dua.
Mugnkin
keserhanaan gadis itu dan senyum kenyalnya membuat Jey tak bisa
melupakannya. Sungguh Jey ingin menemani
gadis itu di setiap sudut nafasnya dan hingga kelak gadis itu tak bernafas
lagi. Jey akan tetap mencintainyai hingga esok di beribu tahun yang tak
terhitung lagi. Alunan musik rock terus berganti menemani Jey dan gadis itu
dalam gelas kopi. Jey hanya berbaring menengdah ke langit-langit kamarnya
sambil merasa tak nyaman dengan kejujuran hatinya sendiri pada gadis itu. Dan
yang paling tidak bisa dimaafkan oleh Jey adalah rasa bersalahnya pada gadis
itu, dan yang paling tidak bisa dihindarkan adalah konsekuensi dari sebuah
pilihan yang telah diputuskan hingga mengurai menjadi dua kutub dalam dilemanya
sendiri, antara terus maju dan tetap bertahan atau mundur dan mengorbankan
perasaanya sendiri.
“Ini
semua salahku, dan maafkan aku teman”
“ini
aku yang menggoreskan rasah aneh di antara kita, kuharap ini tidak akan
berlanjut lama”
“Tuhan
aku mau berhenti di sini, aku tak mau melanjutkan langkahku.
Jey
hanya berbaring, sesekali dia menghembuskan napas panjang akibat sesak di
hatinya. Jey masih mengingat ketika soreh tadi diajaknya gadis itu untuk
menemaninya ke sebuah pertokoan buku murah. Di sana Jey berhasil mendapatkan
sebuah buku yang diinginnya dengan warna coklat muda. Buku yang menjadi
penonton dan pendengar tanpa komentar akan cerita-cerita mereka, akan
bisikan-bisikan mereka ketika Jey dan sang gadis dalam sebuah taman. Taman
tempat Jey mengatakan rasa sayangnya pada sang gadis dengan sepenuh jiwa yang
sedikit bergetar, dengan peluang resiko yang mendekat, dengan kepolosan dan
ketidaktahuan yang terselubung oleh hati, dengan satu hal yang lupa diketahu
oleh Jey bahwa sang gadis telah terpagar hatinya meskipun jauh.
Jey
telah menyatakan rasa sayangnya dengan sepenuh hati dan kejujuran. Namun
kenyataan bahwa gadis itu menjawab dengan jujurnya tentang hatinya yang telah
dipagar. Cukup lama mereka saling membisu, untuk sekedar mendengarkan
jangkrik-jangkrik bernyanyi riang di taman, sambil menemani mereka berdua
mendengarkan suara hatinya masing-masing menyanyikan kidung tentang jiwa yang
patah. Jey tak ingin mengkhianati ketaatan gadis itu walau bisa ia lakukan, Jey
hanya ingin mengatakan yang sebenarnya tentang yang sebenarnya tersimpan. Jey
tak berharap banyak pun lebih, Jey hanya berharap dia cukup mendengarkan
tentang rasa yang tersimpan, biar dirinya terlepas dari semua tentang sang
gadis.
Lama
Jey berbaring menatap langit-langit
kamar sambil mengingat tentang semua yang telah dijadikannya hingga kini
Ia harus merasa bersalah. Untuk kesekian kalinya Jey menghempaskan nafasnya
seakan hatinya terlalu sarat dipenuhi bebanya sendiri. Serempak Jey bangun dari
baringanya, nyaris seperti tersadar dari mimpi buruk. Dirinya bangkit berusaha
untuk melawan semua bebannya karena telah menyatakan rasa sayangnya pada sang
gadis itu dengan sejujur-jujurnya.
Untuk
ketiga kalinya Jey meneggukan kopi dinginnya, kopi yang mungkin nyaris
ditinggalkan sebagai teman curhatnya, jiakalau dia nanti telah bersama sang
gadisnya. Jey semakin bimbang bukan kepalang, kadang dia coba untuk merindu
bersama sang gadis, lalu pelahan-lahan Jey membawa belati di dalam kepalanya
untuk memutuskan tali rindu itu dengan tidak membunuh mereka berdua. Pikirannya
semakin tak tenang, otaknya seperti tak bisa mengerti tentang dirinya sendiri.
“Hah….setidaknya
aku masih punya segelas kopi ini, masih punya sahabat-sahabat lucu,” serunya
dalam hati sambil melihat garis-garis retakan cangkir kopinya yang nyaris
pecah. Seretak hati yang ia miliki. Kini hati itu tak ada obat untuk
membalutnya, retakannya cukup dalam hingga dirinya pun seperti tak mampu untuk
menyelam di dasar retakannya untuk membalut semua pilu yang tercecer dari taman
tempat mereka duduk. Tercerai berai di sepanjang jalan pulang, sepanjang
lorong-lorong kecil.
Jey
meraih laptopnya dan mengeser-geser mousenya,
tak tahu apa yang harus ia lakukan. Matanya tak bisa dipejamkan, laki-laki itu
seperti mengalami overdosis dengan racikan obat tidur yang tingkat tinggi.
Gadis
itu terus setia bersamanya, setia menemani pikirannya hingga terdengar seekor
ayam dengan suara jantan berkokok berbalas pantun tentang pagi, berkokok untuk
subuh yang beriring dengan dingin pagi yang kan meresap dalam pori-pori. Sang
gadis terus setia menemaninya hingga kopi itu bertambah dingin, memeluknya
tanpa kata-kata, lalu tertawa-tersenyum tanpa suara. Dan kini di tegukan kopi
selanjutnya, di antara hari esok, di sekitar musim yang berubah, sang gadis tak
berubah kesetiaanya menemani Jey, mengajaknya berenang dalam segelas kopi,
menyelami makna cinta dan kerelaan yang ada dalam segelas kopi, ketika mereka
menapaki hari-harinya untuk sekedar turut mengecat musim demi musim yang kan
berganti untuk sepanjang tegukan kopi di beribu hari berikutnya.
Jogja: ' di balik aroma senja pada bibir gelas'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar