Senin, 19 November 2012

"Gadis Pada Tegukan Kopi"

"Gadis Pada Tegukan Kopi"

Oleh: Bertho Lojisua

Kopi Bajawa-Wolowio

Wajahnya masih meninggalkan aroma sepenggal kisah yang dia sendiri terkadang merasa bersalah, namun di sudut yang lain dia merasa bahwa itulah dia yang berjalan dalam pilihan tepat. Kadang dirinya berpikir sambil melihat bintang yang dapat dihitung dengan jari. Dia menghembuskan napas sejenak yang memang sedari tadi terasa sesak bagai disumbat sabut kelapa. Malam telah mengetahui semua yang sejak soreh telah terjadi, sebelum senja mati dan menyerahkan titahnya pada gelap. Sahabat-sahabatnya telah menanti kabar yang akhirnya harus memberi kata-kata, senyum dan semuanya yang menguatkan hatinya. Diwajahnya terbentang hamparan pilu, ditemani blukar cerita yang harus disimpan dalam ingatannya tentang hari itu. Kadang dia menggeleng kepalanya seakan berkata “hadapilah dengan senyum”.
“Oh..Tuhan mengapa aku harus memilih…??!”
“Harusnya hari ini aku memutuskan untuk memilihnya sebatas cerita yang prematur”
“Hah……harusnya aku menunda”
Begitulah dia berbisik kecil sambil melihat asap rokoknya yang berterbangan melingkari tubuhnya yang rapuh dan menopangi hati yang patah. Di sebuah teras kontrakan teman-temannya bernyanyi riang hingga suara gitar yang bertahan dan menutupi suara-suara mereka. Mungkin tenggorokannya sudah sakit. Semua tentang mereka, tentang hari kemarin , pun hari esok telah dibedah dalam cerita dan khayalan konyol. Dalam suasana berempat di teras kontrakan, dia seakan tak merasa apa-apa kecuali bayangan pujaan hatinya yang terus menempel di punggungnya. Kadang dia mengembuskan napas panjang, sebab banyangan itu terlalu berat dan rumit  ditinggalkan.
Dia telah mengenal seorang gadis. Gadis yang cukup cantik, tapi lebih manis dari gadis-gadis manapun, seperti madu hutan diantara madu-madu oplosan dalam satu kemasan botol yang sama. Gadis itu begitu natural tidak seperti gadis-gadis di TV yang berpura-pura cantik dan seksi, dan di luar TV lainnya yang meniru gadis-gadis di iklan pura-pura cantik. Kadang dia berpikir apakah gadis yang telah mengikat hatinya juga berpura dengan obat pura-pura yang lebih mahal sehingga dia begitu natur.
“Ah tidak mungkin..!!!!!”
“Aku tidak merasa aroma pura-puranya ketika tadi kami berapat-rapat”
“Tapi tidak apa lah, kalau demikian, sesekali boleh juga kalau terhipnotis oleh arus modernisasi yang berlebihan. Asalkan dalam menu makan setidaknya ada tahu, tempe atau pisang branga, ada jagung dan beras lokal”
“Setidaknya mengingbangi menu-menu modernisai dalam globalisasi yang ditawarkan di TV dan tersaji di berbagai super market atau sejenisnya”
Setelah bergumul dengan pikirannya sendiri, dia merasa sedikit puas karena telah melupakan bayangan gadis itu. Tak sengaja dia kembali melihat ke belakang, dan bayangan gadis itu masih menempel di pundaknya. Hatinya kembali rapuh, jiwa pun patah terurai melayang tak terarah.
Jey kemudian menuju ke kamarnya untuk menenangkan diri, setelah bercerita ke sana kemari dengan teman-temannya. Berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, seperti hari kemarin bersama sang gadis, namun hal itu masih belum dapat diterimanya.
**********
Rupanya Jey telah kehilangan semangat, seperti direbut hartanya satu-satunya di atas meja perjudian murahan dengan taruhan yang seharusnya tak boleh dipertaruhkan. Kepalanya masih menyimpan ingatan akan jari-jari gadis itu. Jari-jari yang lembut bagai hati pemiliknya. Hatinya masih menyimpan separoh tekat untuk tetap menunggu walau separohnya telah diisi rasa putus asa, rasa bimbang, lebih-lebih merasa bersalah oleh sikapnya.
Kamarnya begitu lumayan rapi tertata, dalam ukuran seorang anak laki-laki yang sedikit sibuk dengan sebuah rutinitas. Sebuah lagu disetel sejak soreh masih setia bernyanyi menemani segelas kopi dingin sejak soreh masih terpaku menanti sebuah berita baik  darinya. Ia telah meninggalkan si hitam itu hanya untuk sebuah pertemuan dengan sang gadis berparas sederhana.
Waktu telah berlalu seiring Jey mengenal gadis tersebut, cukup lama dalam ukuran sebuah perkenalan, yang akhirnya membentuk sebuah bentuk waktu dalam bulan, entalah dalam berapa bulan Jey telah sedikit lupa.
Ditegukan segelas kopi bersama gadis itu yang selalu setia menemaninya dalam waktu yang cukup lama. Di malam yang pekat, di pagi dengan kedamaian dan hiruk pikuk, di soreh hari yang penuh kepanikan dan senyum menyambut terang benderang lampu-lampu jalanan kota, gadis itu tetap setia menemaninya. Masih diingatnya ketika di sebuah senja dia dan gadis berparas sederhanya berjalan menyusuri jalan-jalan berpolusi oleh asap kendaraan yang tak terbendung, menebusi lorong-lorong yang enggan dan takut dilalui oleh para pejabat-pejabat daerah, karena mereka malu sudah telah membohongi orang-orang di sekitar lorong-lorong kumuh dengan janji-janji palsu. Namun kehidupan di lorong panjang itu masih setia pada penderitaannya seperti periode-periode kemarin, tak berubah, malah semakin parah tak terkendali.
“Mungkin pejabat-pejabat kita terlalu banyak terhipnotis oleh iklan pura-pura cantik dan tampan oleh para penjajal iklan yang berkolaborasi dengan pengendali globalisasi, hingga mereka takut untuk keluar pada lorong- lorong kumuh, sebab kulit mereka akan rusak”
Jey menjawab pertanyaan gadis berparas sederhana itu ketika menyusuri lorong kumuh tersebut.
“kenapa pemerintah tidak memperhatikan lorong ini, kasian ya para penghuninya??” Tanya sang gadis berparas sederhana pada Jey yang sedang berkonsentrasi mengendarai motor menyusuri lorong kumuh tersebut.
Sebab di lorong itu jalan adalah segalanya, sebagai jalan, lahan bermain, tempat ibu-ibu tua bercerita ria sambil mencari kutu sebab mereka tak punya hiburan, setidaknya pekerjaan, tempat ibu-ibu-ibu muda menyusui bayinya yang belum tentu besok masih hidup di lorong itu. Karena mereka akan mati kekurangan makanan atau di jual pada orang-orang kaya dan mandul dengan harga murah menggiurkan.
Jey meneguk kopi dinginnya untuk kedua kalinya setalah kopinya ditinggal pergi soreh tadi. Gadis berparas sederhana itu masih di sampingnya. Jey selalu menginginkan agar dia segera pergi, karena malam semakin larut dan Jey pun ingin tertidur pulas malam ini lalu menghabiskan mimpinya yang terpenggal di malam kemarin hingga pagi melumatnya dalam dingin dan tersadar untuk memulai hari baru. Jey masih mengingat dan terus mengingat tentang perjalanannya bersama sang gadis pujaan jiwa dan hatinya, ketika mereka menyusuri lorong-lorong kumur di soreh tadi sambil bercerita, dan sambil bertanya tentang apa yang ada di benak masing-masing. Namun Jey masih mengingat ketika soreh tadi dia hanya  ingin jujur tentang gejolak jiwanya, tentang harus memulai dari mana Jey mengatakan rasa sayangnya pada gadis itu yang kini menemaninya dalam tegukan kopi yang ke dua.
Mugnkin keserhanaan gadis itu dan senyum kenyalnya membuat Jey tak bisa melupakannya.  Sungguh Jey ingin menemani gadis itu di setiap sudut nafasnya dan hingga kelak gadis itu tak bernafas lagi. Jey akan tetap mencintainyai hingga esok di beribu tahun yang tak terhitung lagi. Alunan musik rock terus berganti menemani Jey dan gadis itu dalam gelas kopi. Jey hanya berbaring menengdah ke langit-langit kamarnya sambil merasa tak nyaman dengan kejujuran hatinya sendiri pada gadis itu. Dan yang paling tidak bisa dimaafkan oleh Jey adalah rasa bersalahnya pada gadis itu, dan yang paling tidak bisa dihindarkan adalah konsekuensi dari sebuah pilihan yang telah diputuskan hingga mengurai menjadi dua kutub dalam dilemanya sendiri, antara terus maju dan tetap bertahan atau mundur dan mengorbankan perasaanya sendiri.
“Ini semua salahku, dan maafkan aku teman”
“ini aku yang menggoreskan rasah aneh di antara kita, kuharap ini tidak akan berlanjut lama”
“Tuhan aku mau berhenti di sini, aku tak mau melanjutkan langkahku.
Jey hanya berbaring, sesekali dia menghembuskan napas panjang akibat sesak di hatinya. Jey masih mengingat ketika soreh tadi diajaknya gadis itu untuk menemaninya ke sebuah pertokoan buku murah. Di sana Jey berhasil mendapatkan sebuah buku yang diinginnya dengan warna coklat muda. Buku yang menjadi penonton dan pendengar tanpa komentar akan cerita-cerita mereka, akan bisikan-bisikan mereka ketika Jey dan sang gadis dalam sebuah taman. Taman tempat Jey mengatakan rasa sayangnya pada sang gadis dengan sepenuh jiwa yang sedikit bergetar, dengan peluang resiko yang mendekat, dengan kepolosan dan ketidaktahuan yang terselubung oleh hati, dengan satu hal yang lupa diketahu oleh Jey bahwa sang gadis telah terpagar hatinya meskipun jauh.
Jey telah menyatakan rasa sayangnya dengan sepenuh hati dan kejujuran. Namun kenyataan bahwa gadis itu menjawab dengan jujurnya tentang hatinya yang telah dipagar. Cukup lama mereka saling membisu, untuk sekedar mendengarkan jangkrik-jangkrik bernyanyi riang di taman, sambil menemani mereka berdua mendengarkan suara hatinya masing-masing menyanyikan kidung tentang jiwa yang patah. Jey tak ingin mengkhianati ketaatan gadis itu walau bisa ia lakukan, Jey hanya ingin mengatakan yang sebenarnya tentang yang sebenarnya tersimpan. Jey tak berharap banyak pun lebih, Jey hanya berharap dia cukup mendengarkan tentang rasa yang tersimpan, biar dirinya terlepas dari semua tentang sang gadis.
Lama Jey berbaring menatap langit-langit  kamar sambil mengingat tentang semua yang telah dijadikannya hingga kini Ia harus merasa bersalah. Untuk kesekian kalinya Jey menghempaskan nafasnya seakan hatinya terlalu sarat dipenuhi bebanya sendiri. Serempak Jey bangun dari baringanya, nyaris seperti tersadar dari mimpi buruk. Dirinya bangkit berusaha untuk melawan semua bebannya karena telah menyatakan rasa sayangnya pada sang gadis itu dengan sejujur-jujurnya.
Untuk ketiga kalinya Jey meneggukan kopi dinginnya, kopi yang mungkin nyaris ditinggalkan sebagai teman curhatnya, jiakalau dia nanti telah bersama sang gadisnya. Jey semakin bimbang bukan kepalang, kadang dia coba untuk merindu bersama sang gadis, lalu pelahan-lahan Jey membawa belati di dalam kepalanya untuk memutuskan tali rindu itu dengan tidak membunuh mereka berdua. Pikirannya semakin tak tenang, otaknya seperti tak bisa mengerti tentang dirinya sendiri.
“Hah….setidaknya aku masih punya segelas kopi ini, masih punya sahabat-sahabat lucu,” serunya dalam hati sambil melihat garis-garis retakan cangkir kopinya yang nyaris pecah. Seretak hati yang ia miliki. Kini hati itu tak ada obat untuk membalutnya, retakannya cukup dalam hingga dirinya pun seperti tak mampu untuk menyelam di dasar retakannya untuk membalut semua pilu yang tercecer dari taman tempat mereka duduk. Tercerai berai di sepanjang jalan pulang, sepanjang lorong-lorong kecil.
Jey meraih laptopnya dan mengeser-geser mousenya, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Matanya tak bisa dipejamkan, laki-laki itu seperti mengalami overdosis dengan racikan obat tidur yang tingkat tinggi.
Gadis itu terus setia bersamanya, setia menemani pikirannya hingga terdengar seekor ayam dengan suara jantan berkokok berbalas pantun tentang pagi, berkokok untuk subuh yang beriring dengan dingin pagi yang kan meresap dalam pori-pori. Sang gadis terus setia menemaninya hingga kopi itu bertambah dingin, memeluknya tanpa kata-kata, lalu tertawa-tersenyum tanpa suara. Dan kini di tegukan kopi selanjutnya, di antara hari esok, di sekitar musim yang berubah, sang gadis tak berubah kesetiaanya menemani Jey, mengajaknya berenang dalam segelas kopi, menyelami makna cinta dan kerelaan yang ada dalam segelas kopi, ketika mereka menapaki hari-harinya untuk sekedar turut mengecat musim demi musim yang kan berganti untuk sepanjang tegukan kopi di beribu hari berikutnya.

Jogja: ' di balik aroma senja pada bibir gelas'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar