Senin, 19 November 2012

 KETIKA SENI BUDAYA DAN TRADISI TERKIKIS JAMAN


Adalah sebuah kebanggaan ketika hari ini kita masih bisa menyaksikan pagelaran Wayang dan musik Gemelan dari Jawa, tarian Tor-Tor dari Sumatera Utara, atau tarian Ja’i dari Bajawa di Flores Nusa Tenggara Timur, dan berbagai jenis seni tradisional Indonesia yang masih hidup dan akrab di tengah masyarakat. Itu artinya masyarakat setempat sedang hidup dalam proses penjagaan terhadap warisan seni budaya yang telah berlangsung turun-temurun.
Di tengah jaman dalam era teknologi dan komunikasi yang terus berkembang, kontaminasi globalisasi ke dalam budaya dan tradisi masyarakat Indonesia saat ini menjadi tak terelakan. Kehadiran globalisasi dewasa ini menjadikan kita manusia yang lebih terbuka dan maju. Keterbukaan dan kemajuan ini kemudian melanggengkan instanisme sebagai hasil dari globalisme atau globalisasi.
Sementara itu pada tataran yang lain, konsep budaya dan tradisi kini menjadi rival dalam arena hegemoni yang dimainkan oleh individu atau golongan masyarakat tertentu. Masyarakat menerima globalisasi sebagai sebuah pertumbuhan jaman, namun yang masyarakat juga yang menolak globalisasi sebagai bentuk pengikisan sturktural terhadap falsafah budaya dan tradisi yang telah lama mengakar dan hidup bersama dengan masyarakat. Antara keduanya, memiliki pengaruh yang sama-sama penting yang diterima oleh masyarakat sebagai bentuk metalitas bangsa hari ini. Dengan demikian mentalitas budaya-tradisi dan mentalitas globalisasi seakan disibukan dengan proses hegemoni mencari identitasnya. Keadaan ini jelas berpengaruh pada kelestarian budaya-tradisi masyarakat kita. Ketika budaya semakin terkikis jaman, generasi muda sebagai agen perubahan harus menjadi garda terdepan dalam melestarikan dan mempertahankannya. Disamping didukung oleh ‘generasi tua’ sebagi guru dan pendamping. Namun fakta hari ini, yang terjadi ialah, lebih banya generasi muda kini semakin memuja mentalitas globalisasi, dalam dunia yang disajikan dengan kemodernan.
Mentalitas ini kemudian menjadi pola kehidupan yang dipuja, dengan meninggalkan mentalitas budaya dengan pola tradisinya. Kita hendaknya tidak serta merta menolak globalisai, namun kita semestinya tidak menelan bulat-bulat modernisme yang disajikan saat ini. Untuk itu kita perlu perisai sebagai filter terhadap kemungkinan globalisasi yang membawa pengaruh terhadap degradasi mental anak bangsa. Filter itu yang kita sebut dengan budaya dan tradisi.
Budaya dan tradisi Indonesia memiliki nilai-nilainya tersendiri baik filosofis maupun estetika. Kehadiran seni dalam budaya global jelas berbeda dengan seni budaya tradisional. Seni budaya tradisional merupakan serangkaian bentuk kesenian rakyat yang diwariskan secara turun temurun, dan memiliki nilai-nilai filosofisnya. Sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah kebanggaan yang besar dianugrahi warisan budaya yang memiliki nilai seni yang berbeda dari bangsa-bangsa di dunia manapun. Seni ukiran dan bangunan seperti Candi yang banyak dijumpai seperti Borobudur, Prambanan, Boko, dan sebagainya, seni tari seperti tari Balet, tari Pedet, tari Piring, atau seni musik seperti Sasando, Gamelan, Angklung, Suling dan masih banyak lagi, merupakan warisan leluhur bangsa yang patut dilestarikan. Sebab seni budaya tradisional menunjukan identitas yang melekat pada sebuah bangsa. Pagelaran atau upacara seni budaya tradisional di Indonesia selalu diindentikan dengan sebuah rasa syukur kepada sang pencipta, menunjukan rasa kebersamaan, penyatuan dan persaudaraan, saling menghargai dan menghormati.
Dari ungkapan seni dan budaya melalui alat musik tradisional dan tarian-tarian yang bernuansa ceria sampai yang bernuansa mistis intinya ialah menyampaikan tentang falsafah kehidupan. Kehidupan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan leluhur. Sehingga muncul pertanyaan tentang mengapa seni budaya tradisional perlu dilestarikan maka jawabannya ialah, melestarikan seni budaya tradisional merupakan tanggungjawab yang harus diemban oleh generasi saat ini guna mengkonter terhadap hegemoni globalisasi yang terus menggerayangi mental generasi muda Indonesia. Proses terjadinya hegemoni melibatkan berbagai macam penetrasi dan sosialisasi nilai, keyakinan, ide, sikap, dan moralitas (Nurani Soyomukti 2008: 92). Memahami seni budaya tradisional adalah memahami konsep identitas bangsa di era globalisasi saat ini sebagai filter dalam memilah hegemoni globalisasi yang ditawarkan.
Hal yang patut dipikirkan ialah bila kelestarian seni budaya tradisional terpelihara dan berkembang dalam masyarakat di era globalisasi ini maka hal terbaik dan nilai positif yang terpetik oleh oleh kita ialah kemapanan. Kemapanan yang dimaksud merupakan kemapanan dalam bingkai jati diri anak bangsa. Bukan tidak mungkin ketika nilai dan falsafah dalam seni budaya tergerus oleh jaman. Maka generasi berikutnya sebagai generasi penikmat seni budaya yang hanya hidup dalam buku-buku sejarah tanpa mengetahui pemaknaanya dalam praktek. Pertanyaannya apakah ketakutan ini telah terjadi? Dapat dipastikan bahwa kita sedang mengalaminya.
Melestarikan seni budaya dan tradisi bukan semudah mebalik telapak tangan. Apa lagi ditengah era globalisasi saat ini. Memuja budaya modernisasi atau membanggakan seni budaya dengan mengapresiasikannya merupakan sebuah pilihan kita. Tidak ada yang salah dari menentukan pilihan. Namun yang perlu desesalkan ialah ketika roh globalisasi memenangkan diri kita atas unsur-unsur kebudayaan. Disibukan dengan memencet remot televisi untuk sebuah drama Korea, MTV musik dan sajian hiburan yang dilahirkan oleh kemodernan adalah pilihan. Namun disayangkan bila itu menjadi rutinitas yang menanggalkan upaya mengapresiasi terhadap seni budaya sendiri. Sementara di sisi lain negara tetangga sedang berupaya mendalami seni budaya dan tradisi Indonesia.
Ada semangat nasionalisme bangsa yang patut diacungkan jempol ketika bangsa lain mencoba memungut warisan seni budaya kita. Namun nasionalisme bukan sekedar rasa benci atau sakit hati pada upaya pengklaiman warisan budaya. Lebih dari pada itu ialah tindakan dan upaya nyata dalam proses pengawalan terhadap kelestarian warisan budaya kita. Jika ini diremehkan sama artinya kita telah tergerus oleh arus globalisasi yang membuat kita seakan lupa diri.
Dengan demikian hari ini bangsa kita dihadapkan pada perbenturan antara laju globalisasi dan semangat menjunjung seni budaya tradisional. Peran seluruh elemen masyarakat dan lembaga pemerintah adalah sangat penting. Masyarakat dan pemerintah menjadi obat utama dalam menetralkan dan mendamaikan antara seni budaya tradisional dan unsur globalisasi. Pada media paling berpotensi ialah pendidikan, setidaknya program pendidikan sekolah yang mengedapankan kebudayaan dalam konteks seni tradisional, dan perlu menjadi perhatian serius dalam menjaga dan melestarikannya. Bahwa sejak dini, kita perlu ditanamkan dan menanamkan nilai-nilai kebudayaan dengan unsur-unsur yang terkandung, termasuk unsur seni tradisi. Sehigga di hari esok yang akan datang generasi bangsa mampu berpikir global namun tetap bertindak lokal. 


Daftar Pustaka:
Soyomukti, Nurani,”Metode Penelitian Marxis Sosialis”,Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar