KETIKA SENI BUDAYA DAN TRADISI TERKIKIS JAMAN
Adalah sebuah
kebanggaan ketika hari ini kita masih bisa menyaksikan pagelaran Wayang dan
musik Gemelan dari Jawa, tarian Tor-Tor dari Sumatera Utara, atau tarian Ja’i
dari Bajawa di Flores Nusa Tenggara Timur, dan berbagai jenis seni tradisional Indonesia
yang masih hidup dan akrab di tengah masyarakat. Itu artinya masyarakat
setempat sedang hidup dalam proses penjagaan terhadap warisan seni budaya yang
telah berlangsung turun-temurun.
Di tengah jaman
dalam era teknologi dan komunikasi yang terus berkembang, kontaminasi
globalisasi ke dalam budaya dan tradisi masyarakat Indonesia saat ini menjadi
tak terelakan. Kehadiran globalisasi dewasa ini menjadikan kita manusia yang
lebih terbuka dan maju. Keterbukaan dan kemajuan ini kemudian melanggengkan
instanisme sebagai hasil dari globalisme atau globalisasi.
Sementara itu pada
tataran yang lain, konsep budaya dan tradisi kini menjadi rival dalam arena hegemoni
yang dimainkan oleh individu atau golongan masyarakat tertentu. Masyarakat
menerima globalisasi sebagai sebuah pertumbuhan jaman, namun yang masyarakat
juga yang menolak globalisasi sebagai bentuk pengikisan sturktural terhadap
falsafah budaya dan tradisi yang telah lama mengakar dan hidup bersama dengan
masyarakat. Antara keduanya, memiliki pengaruh yang sama-sama penting yang
diterima oleh masyarakat sebagai bentuk metalitas bangsa hari ini. Dengan
demikian mentalitas budaya-tradisi dan mentalitas globalisasi seakan disibukan
dengan proses hegemoni mencari identitasnya. Keadaan ini jelas berpengaruh pada
kelestarian budaya-tradisi masyarakat kita. Ketika budaya semakin terkikis
jaman, generasi muda sebagai agen perubahan harus menjadi garda terdepan dalam
melestarikan dan mempertahankannya. Disamping didukung oleh ‘generasi tua’
sebagi guru dan pendamping. Namun fakta hari ini, yang terjadi ialah, lebih
banya generasi muda kini semakin memuja mentalitas globalisasi, dalam dunia
yang disajikan dengan kemodernan.
Mentalitas ini
kemudian menjadi pola kehidupan yang dipuja, dengan meninggalkan mentalitas
budaya dengan pola tradisinya. Kita hendaknya tidak serta merta menolak
globalisai, namun kita semestinya tidak menelan bulat-bulat modernisme yang
disajikan saat ini. Untuk itu kita perlu perisai sebagai filter terhadap
kemungkinan globalisasi yang membawa pengaruh terhadap degradasi mental anak
bangsa. Filter itu yang kita sebut dengan budaya dan tradisi.
Budaya dan
tradisi Indonesia memiliki nilai-nilainya tersendiri baik filosofis maupun
estetika. Kehadiran seni dalam budaya global jelas berbeda dengan seni budaya
tradisional. Seni budaya tradisional merupakan serangkaian bentuk kesenian
rakyat yang diwariskan secara turun temurun, dan memiliki nilai-nilai
filosofisnya. Sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah kebanggaan yang besar dianugrahi
warisan budaya yang memiliki nilai seni yang berbeda dari bangsa-bangsa di
dunia manapun. Seni ukiran dan bangunan seperti Candi yang banyak dijumpai
seperti Borobudur, Prambanan, Boko, dan sebagainya, seni tari seperti tari
Balet, tari Pedet, tari Piring, atau seni musik seperti Sasando, Gamelan,
Angklung, Suling dan masih banyak lagi, merupakan warisan leluhur bangsa yang
patut dilestarikan. Sebab seni budaya tradisional menunjukan identitas yang
melekat pada sebuah bangsa. Pagelaran atau upacara seni budaya tradisional di
Indonesia selalu diindentikan dengan sebuah rasa syukur kepada sang pencipta,
menunjukan rasa kebersamaan, penyatuan dan persaudaraan, saling menghargai dan
menghormati.
Dari ungkapan
seni dan budaya melalui alat musik tradisional dan tarian-tarian yang bernuansa
ceria sampai yang bernuansa mistis intinya ialah menyampaikan tentang falsafah
kehidupan. Kehidupan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan
manusia dengan leluhur. Sehingga muncul pertanyaan tentang mengapa seni budaya
tradisional perlu dilestarikan maka jawabannya ialah, melestarikan seni budaya
tradisional merupakan tanggungjawab yang harus diemban oleh generasi saat ini
guna mengkonter terhadap hegemoni globalisasi yang terus menggerayangi mental generasi
muda Indonesia. Proses terjadinya
hegemoni melibatkan berbagai macam penetrasi dan sosialisasi nilai, keyakinan,
ide, sikap, dan moralitas (Nurani Soyomukti 2008: 92). Memahami seni budaya
tradisional adalah memahami konsep identitas bangsa di era globalisasi saat ini
sebagai filter dalam memilah hegemoni globalisasi yang ditawarkan.
Hal yang patut
dipikirkan ialah bila kelestarian seni budaya tradisional terpelihara dan
berkembang dalam masyarakat di era globalisasi ini maka hal terbaik dan nilai
positif yang terpetik oleh oleh kita ialah kemapanan. Kemapanan yang dimaksud
merupakan kemapanan dalam bingkai jati diri anak bangsa. Bukan tidak mungkin
ketika nilai dan falsafah dalam seni budaya tergerus oleh jaman. Maka generasi
berikutnya sebagai generasi penikmat seni budaya yang hanya hidup dalam
buku-buku sejarah tanpa mengetahui pemaknaanya dalam praktek. Pertanyaannya
apakah ketakutan ini telah terjadi? Dapat dipastikan bahwa kita sedang
mengalaminya.
Melestarikan
seni budaya dan tradisi bukan semudah mebalik telapak tangan. Apa lagi ditengah
era globalisasi saat ini. Memuja budaya modernisasi atau membanggakan seni
budaya dengan mengapresiasikannya merupakan sebuah pilihan kita. Tidak ada yang
salah dari menentukan pilihan. Namun yang perlu desesalkan ialah ketika roh
globalisasi memenangkan diri kita atas unsur-unsur kebudayaan. Disibukan dengan
memencet remot televisi untuk sebuah drama Korea, MTV musik dan sajian hiburan
yang dilahirkan oleh kemodernan adalah pilihan. Namun disayangkan bila itu
menjadi rutinitas yang menanggalkan upaya mengapresiasi terhadap seni budaya
sendiri. Sementara di sisi lain negara tetangga sedang berupaya mendalami seni
budaya dan tradisi Indonesia.
Ada semangat
nasionalisme bangsa yang patut diacungkan jempol ketika bangsa lain mencoba
memungut warisan seni budaya kita. Namun nasionalisme bukan sekedar rasa benci
atau sakit hati pada upaya pengklaiman warisan budaya. Lebih dari pada itu
ialah tindakan dan upaya nyata dalam proses pengawalan terhadap kelestarian
warisan budaya kita. Jika ini diremehkan sama artinya kita telah tergerus oleh
arus globalisasi yang membuat kita seakan lupa diri.
Dengan demikian
hari ini bangsa kita dihadapkan pada perbenturan antara laju globalisasi dan
semangat menjunjung seni budaya tradisional. Peran seluruh elemen masyarakat
dan lembaga pemerintah adalah sangat penting. Masyarakat dan pemerintah menjadi
obat utama dalam menetralkan dan mendamaikan antara seni budaya tradisional dan
unsur globalisasi. Pada media paling berpotensi ialah pendidikan, setidaknya
program pendidikan sekolah yang mengedapankan kebudayaan dalam konteks seni
tradisional, dan perlu menjadi perhatian serius dalam menjaga dan
melestarikannya. Bahwa sejak dini, kita perlu ditanamkan dan menanamkan
nilai-nilai kebudayaan dengan unsur-unsur yang terkandung, termasuk unsur seni
tradisi. Sehigga di hari esok yang akan datang generasi bangsa mampu berpikir
global namun tetap bertindak lokal.
Daftar Pustaka:
Soyomukti,
Nurani,”Metode Penelitian Marxis Sosialis”,Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar