Kamis, 03 Januari 2013

Indonesia Dalam Upaya Pencegahan Iklim Global

Oleh: Bertho Lojisua

Perubahan iklim global menjadi sebuah fenomena alam dan tantangan tersendiri bagi masyrakat dunia, baik negara maju maupun negara-negara dengan label sedang berkembang untuk bagaimana mengatasinya secara lebih bijak. Dengan adanya perubahan iklim ini jelas sangat berpengaruh pada situasi sosial dalam seluruh lapisan elemen masyrakat.

Naiknya suhu permukaan bumi akibat efek rumah kaca membuat bumi menjadi semakin panas, sehingga memicu beberapa dampak: Pertama, hutan Amazon akan berubah menjadi gurun, Memiliki jutaan spesies dan cadangan 1/5 air bersih dunia, hutan Amazon merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia. Tetapi pemanasan global dan penggundulan hutan membalikkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dan merubah 30 - 60 persen hutan menjadi padang rumput kering. Proyeksi - proyeksi menunjukkan hutan ini bisa lenyap menjelang tahun 2050. Kedua; Gurun Sahara akan menghijau. Para ilmuwan melihat tanda - tanda bahwa gurun Sahara dan wilayah di sekitarnya menghijau akibat makin meningkatnya curah hujan. Hujan ini mampu merevitalisasi wilayah gersangnya sehingga menarik komunitas petani. Kecenderungan menyusutnya gurun ini dijelaskan oleh model - model iklim, yang memprediksi kembalinya ke kondisi yang merubah Sahara menjadi padang rumput subur seperti sekitar 12 ribu tahun yang lalu. Ketiga, Hewan-hewan menyusut; Studi baru menyebutkan bahwa bahwa spesies - spesies hewan mengalami penyusutan rata - rata hingga 50 persen dari massa tubuhnya dalm 30 tahun terakhir. Penelitian awal terhadap domba menduga bahwa musim dingin yang lebih pendek dan ringan membuat domba - domba itu tidak menambah berat badannya untuk bertahan hidup pada tahun pertama hidupnya. Faktor seperti ini dapat juga mempengaruhi populasi ikan. Keempat; Indonesia kehilangan ribuan pulaunya. Akibat Global Warming, sedikitnya 2000 pulau kecil di kepulauan Indonesia mungkin akan hilang sebelum yahun 2030 dan hal ini diperparah sebagai konsekuensi penambangan liar dan aktivitas lain yang merusak lingkungan. Dari 17.500 pulau diperkirakan telah hilang 24 pulau kecil di Indonesia.

Gambar Efek Rumah Kaca 



Perubahan iklim ini tidak hanya mencakup pada alam dan kehidupan manusia namun lebih dari pada itu bahwa perubahan iklim ini berdampak pada bentuk-bentuk keputusan politik yang harus dibuat oleh negara dan aktor-aktor di dalamnya. Pengaruh kemajuan ekonomi pada negara-negara industri maju tidak terlepas dari besarnya aktivitas industri yang menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang makin  lama makin bayak jumlahnya di admosfer, disamping penggundulan hutan dan gaya hidup manusia. Dari komleksnya masalah ini kemudian negara dan beberapa oraganisasi internsioanl sepakat bahwa butuh kerja sama untuk mengatasi perubahan iklim global.

Kerja sama ini terfasilitasi melalui UN-REDD (The United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries)yang merupakan program kerja sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diluncurkan oleh sekjen PBB Ban Kimoon pada pada Septembaer 2008 dan perdana menteri Norwegia. Program ini melibatkan tiga badan PBB yaitu yaitu UNEP (United Nations Environment Programme), UNDP (United Nations Development Programme) dan FAO (Food and Agriculture Organization), serta beberapa negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan satu dari sembilan negara contoh untuk awal program UN-REDD.

Indonesia sebagai salah satu negara yang masih memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia memainkan peran yang sangat besar dalam penyerapan CO2 untuk menurunkan emisi dunia. Peran itu telah ditunjukkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional GRK, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dengan kemampuan sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional serta di atas 41% bila nanti sudah terbentuk pasar karbon dalam mekanisme REDD+, tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Disamping itu, kebijakan ini didukung pula oleh Peraturan Presiden No. 71/2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang pada dasarnya merupakan instrumen utama dalam penghitungan emisi di Indonesia. 

Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan di sini dan sekarang. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu GRK penting yaitu CO2 di atmosfer baru 290 ppmv (part per million by volume).  Sekarang konsentrasi GRK di atmosfer semakin meningkat yang diperkirakan mencapi 350 ppmv. Hal inilah yang menyebabkan suhu bumi kita semakin memanas dan berakibat pada perubahan perubahan musim, naiknya permukaan air laut, krisis pangan disejumlah negara dan sebagainya. Namun demikian kegiatan dan aktifitas manusia yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) serta alih guna lahan terus berlangsung, tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu dilakukan untuk kemajuan ekonomi suatu bangsa atau sekedar bertahan hidup. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas rumah kaca. Diantara gas-gas tersebut adalah karbon (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O).  Upaya untuk mengurangi tumpukan gas rumah kaca di atmosfer telah dilakukan oleh negara-negara maju yang tergolong dalam negara Anex I dan negara-negara berkembang atau negara non-Anex I.

Konvensi perubahan iklim ini dimulai ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyusun sebuah konvensi perubahan iklim yang disahkan pasa KTT bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada 1992. Tujuan utamanya (Pasal 2); menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim dan salah satu prinsip Konvensiyang tercantum pada pasal 3 berbunyi,”…setiap Pihak memiliki tanggungjawab umum yang sama, namun secara khusus dibedakan sesuai denagn kemampuannya”  Konvensi perubahan iklim kemudian dilengkapi dengan perangkat atau tatacara pelaksanaan konvensi yang disebut dengan Prorotokol Kyoto. Rancangan Protokol Kyoto dihasilkan oleh Panitia ad-hoc  yang dibicarakan di Kyoto pada 1997, dan diratifikasi oleh 130 negara yang belaku tahun 2005. Protokol Kyoto adalah sebuah instrmen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk mengimplemtasikan Kovensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim Bumi. 

Dalam perjalanannya perkembangan Protokol Kyoto kurang menuai hasil yang berarti sebab negara industri seperti Amerika serikat masih menolak dengan alasannya:
1)    Delapan puluh persen penduduk dunia (termasuk yang berpenduduk besar seperti China dan India) dibebaskan dari kewajiban menurunkan emisi,
2)    Implementasi protokol Kyoto akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS karena penggantian pembangkitan energi dengan batu bara menjadi gas akan sangat mahal,
3)    Protokol Kyoto adalah cara untuk mengatasi masalah perubahan iklim global yang tidak adil dan tidak effektif,
4)    CO2 menurut undang-undang AS, ‘Clean Air Act’ tidak dianggap sebagai pencemar sehingga secara domestik tidak perlu diatur emisinya,
5)    Kebenaran ilmiah perubahan iklim dan cara-cara untuk memecahkan persoalannya didukung oleh pemahaman ilmiah yang terbatas.  Sikap AS ini menjadi sebuah perdebatan dan bentuk kurang efektifnya perjanjian Protokol Kyoto.
Sebagai sebuah negara berkembang seperti negara-negara lainnya Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang dianggap sebagai salah satu paru-paru dunia untuk mengurangi jumlah konsentrasi GRK di atmosfer. Berlanjut pada Conference of Parties 13  (COP 13) di Bali terjadi sebuah kesepakatan baru antara negara maju dan negara berkembang tetang upaya lanjutan untuk mencegah perubahan iklim global setelah umur dari perjanjian Protokol Kyoto berakhir.

REDD adalah suatu mekanisme global untuk menciptakan suatu insentif bagi negara-negara berkembang untuk melindungi dan mengelola sumber daya hutannya dengan lebih baik dan bijaksana, dan memberikan kontribusi terhadap perjuangan global melawan perubahan iklim. Strategi-strategi REDD bertujuan untuk membuat hutan lebih bernilai dari pada ketika hutan tersebut ditebang, dengan menciptakan suatu nilai finansial terhadap karbon yang tersimpan di dalam pepohonan. Jika karbon ini dinilai dan dihitung, tahap terakhir dari REDD adalah negara-negara maju membayarkan carbon offset kepada negara berkembang, atas tegakan hutan yang mereka miliki.  Dalam upaya ini negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengambil peran penting di dalamnya dalam upaya mengurangi GRK yang mempengaruhi perubahan iklim global.

Secara matematis, emisi GRK didefinisikan sebagai hasil kali antara data aktifitas dan faktor emisi. Data aktifitas didefinisikan sebagai besar kuantitatif aktifitas manusia pada suatu lahan yang umumnya dicirikan oleh penggunaan lahannya yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK, sedangkan faktor emisi adalah besarnya emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer per satuan aktifitas. Dalam UN-REDD sesungguhnya ada tiga hasil yang hendak dicapai yaitu;
1)    Program ini akan memperkuat partisipasi berbagai pihak dan membangun kesepakatan di tingkat nasional.
2)    Program ini akan memperkuat sistem akuntansi gas karbon dan membantu mengembangkan mekanisme pembayaran yang adil.
3)    Program ini akan menciptakan kapasitas untuk menerapkan REDD di tingkat daerah.  Program ini diperkenalkan untuk membantu negara-negara dengan hutan tropis dalam menciptakan sistem REDD yang adil, setara dan transparan.
Dalam UN-REDD programme utuk menuju REDD plus di Indonesia pada bulan Mei 2010, pemerintah Indonesia dan Norwegia menandatangani Letter of Intent (Loi) senilai USD1 miliar. Indonesia telah berkomitmen dalam menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Pendanaan ini akan dibayarkan berdasarkan capaian Indonesia selama periode 7-8 tahun mendatang.

Dalam program ini negara maju dan berkembang berkerja sama mengatasi perubahan iklim akibat deforestasi dan degradasi hutan pada negara berkembang. Dukungan finansial, peningkatan kapasitas dan alih teknologi merupakan aspek pendukung dalam program UN-REDD untuk mendukung REDD plus. Peran Indonesia sebagai negara menyimpan dua hal penting yaitu pengurangan emisi GRK dan beban yang besar yang diberikan dalam program ini. Pada umumnya negara berkembang adalah negara-negara yang hanya menanggung dampak dari proses industrialisasi negara-negara maju dengan mengorbankan pemanfaatan hutan bagi masyrakat.

*********************





DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Murdiyarso, Daniel “Protokol Kyoto Implikasi Bagi Negara Berkembang”, Bogor, KOMPAS.

Murdyarso, Daniel “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan” Jakarta, Kompas,2003.

WESITE

 “Kemenhut dan UNREDD adakan Workshop Allometric Equation: Komponen Dasar Akurasi Penghitungan Emisi Karbon dari Hutan” dalam http://ppid.dephut.go.id/informasi.html.

 “Tanya Jawab Mengenai REDD+” dalam http://satgasreddplus.org/tentang-redd-sekilas-redd

 “UN-REDD. Indonesia – Duduk di kursi panas tentang perubahan iklim” dalam http://www.norwegia.or.id (diakses pada 30 juli 12).

UN-REDD Programme Indonesia, “Tahun Pertama UN-REDD Programe Indonesia: Mempercepat Kesiapan REDD+ Nasional” dalam http://www.un-red.indonesia.or.id

BULETIN

UN-REDD Indonesia, Newsletter, edisi Perdana 2011.   

Laporan Akhir Road Map MRV Sekotor Kehutanan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar