Rabu, 16 Januari 2013

Jadikan Kami Ikan

Oleh: Bertho Lojisua

 Anak kecil berjalan pada bibir kolam yang berisi ikan, mungkin ikan Mujair dan ikan sejenisnya yang yang belang-belang. Dalam benak kadang terpikir bagaimana jika ia menjadi salah satu dari mereka, entah yang besar atau yang paling kecil. Tetapi ia ingin menjadi mereka, sebab dengan begitu ia bisa berenang dengan bebasnya. Iya membayangkan ayah menjadi ikan yang berwarna hitam cerah, ibunya adalah ikan yang berwarna emas dan ia akan menjadi ikan yang seperti sapi, sebab ia suka boneka Sapi yang berwarna belang-belang. Dan ia menyebut ikan itu sebagai ikan Sapi, walupun ikan itu adalah Koi Koi.

Hari ini langit begitu biru dan awan berambut seperti Sinterclaas. Dirumah begitu sepi tidak ada gaduh tawa atau teriakan kecuali siulan burung yang sesekali, atau bunyi air mancur di halaman samping. Anak kecil tidak kesepian walaupun sendiri menjadi hal yang tujuh puluh persen ia rasakan setiap hari dan dua puluh limanya ada di sekolah, itupun jika sekolah tidak sedang libur. Hari minggu adalah hari rekreasi keluarga walau terkadang tidak ditemani ayah dan cuma ibu atau sebaliknya. Tetapi itu terkadang yang sebenarnya hampir sering.

Ia adalah anak pertama dari ayah seorang pebisnis yang tidak besar tapi cukup besar mungkin akan menjadi besar seiring waktu. Ia adalah anak dari ibu yang ayahnya juga seorang konglomerat. Dan ia adalah cucu kesayangan dan pertama dari anak kedua konglomerat itu, sebab kakak pertama dari ibunya tidak mempunyai anak sejak pernikahan delapan tahun lalu. Lantas ia sangat disayangi oleh pamannya yang dua hari lalu pindah ke kota lain, dan itu membuatnya sedih berkeping-keping. Ia adalah seorang anak kecil yang tidak mengerti tetapi pandai merekam sertiap situasi tanpa protes pada situasi, sebab ia baru lahir 27 Januari di enam tahun delapan bulan, dua puluh delapan hari tahun lalu. Tiga bulan tiga puluh hari lagi ia akan berumur tujuh tahun pada 27 Januari 2013. Kini ayahnya yang rajin bekerja hingga malam telah tiada dan ibunya yang rajin membeli pakaian dan jajan, juga lenyap sedari pagi. Yang ia tahu bahwa ayah dan ibunya bekerja agar dapat membelinya sepatu Sinderella yang selalu didongengkan pamannya, baju baru, sepeda baru, boneka sapi yang lebih besar. Ia juga sering mengingat janji ayah dan ibunya untuk mengumpulkan uang lebih banyak untuk membeli adik baru yang laki-laki.

Di rumah hanya ia dan pembantu yang cantik. Ia sangat menyukai pembantu itu ketika pembantu itu sering memandikannya dan menyisir rambutnya yang panjang sambil bercerita tentang ayahnya yang rajin bekerja. Hari begitu terang dan indah dan begitulah yang ia rasakan sebab ia belum banyak memerotes pada situasi kecuali lapar dan haus. Tetapi kini ia mulai melakukan protes pada dirinya dan keinginannya, ia tidak menginginkan mobil atau perhiasan seperti milik ibunya ia kini mulai merasa kurang diperhatikan. Sebetulnya ia ingin ditemani ayah dan ibunya, duduk di pangkuan mereka setiap saat dan mendapat pujian ‘kamu pintar’, sebab kemarin nilai gambarnya 95 namun ayah dan ibunya belum melihat dan memberi pujian. Semalam ia menunggu ayah dan ibunya pulang namun ia terlanjur tidur dan pagi ini tidak seperti hari biasanya ayah dan ibunya lebih awal pergi. Entah kemana yang jelas untuk mengumpulkan uang buat membeli adik yang laki-laki. Ia lebih senang bersekolah dari pada menikmati liburan seperti hari ini. Pernah ia mengeluh pada guru kesayangannya yang adalah seorang guru muda wali kelasnya, bahwa ia tidak suka hari libur walau ia merindukannya, dan ibu guru kesayangannya memujinaya bahwa ia adalah anak yang rajin dan pandai. Dengan  demikian ia senang pada pujian gurunya dan melupakan alasan mengapa ia tidak suka liburan. Ia kemudian berlari kembali ke lapangan bersama teman-temannya, sebelum ibu guru itu menanyakan alasannya setelah meng-update status Facebook-nya ‘Aku galauuuu, tapi aku kog suka??’.

************

Matahari belum benar-benar sampai pada ujung langit sehingga pohon cemara di sebelah timur dapat membayangi dirinya dan separuh kolam yang berada disebalah barat pohon. Anak kecil hanya sendiri berjalan di bawah bayangan pohon sambil melihat ikan yang tenang berenang dengan warna yang belang-belang.

“Aku ingin berenang dengan bebas dan setelah itu aku kembali menjadi menusia, menjadi anak dari ayah dan ibuku” anak kecil itu memandang ke dasar kolam pada gerombolan ikan sambil membayangkan dirinya ada di antara kawanan ikan lainnya.

Ada batu kecil sebesar biji kelereng di pinggir kolam, batu itu dilembarkan ke dalam kolam dan ikan-ikannya berpencar hampir menyerupai kembang api.
“Apakah mereka ketakutan atau apakah ada yang mengenai mereka dari batu yang kulempar?. Aku ingin menjadi ikan”, gumannya dalam hati. 

“Tuhan apakah nanti jika aku bukan lagi manusia aku akan menjadi ikan ini. Mungkin ikan-ikan ini dulunya adalah manusia sepertiku yang  kemudian menjadi ikan oleh Tuhan.”

Ia menyentukan jari-jari kecilnya pada permukaan air, kadang mengambil beberapa daun cemara yang telah lebur dari rantingnya dan melemparkan ke kolam. Ikan-ikan lantas mendekat mebuka mulut-mulut mereka pada pinggir kolam. Anak kecil ini merasa bahwa ikan ini sedang mengajaknya berbicara.

“Hey ikan kecil” sapanya pada semua ayah, ibu, dan anak ikan sambil ia tersenyum kegirangan.

“Namaku Mura, siapa nama kalian?” sambil jari-jarinya ingin menyentuh ikan namun ikan semakin menjauh lalu datang lagi. Lantas ia mengerti bahwa ikan tidak bisa berbicara kecuali manusia namun ia yakin bahwa ikan bisa berbicara ketika malam ia tidur, ketika semua orang tidak ada di kolam, sebab pikirnya ikan itu pemalu. Malu untuk berbicara atau takut untuk tertawa padanya. Ia kesal kepada gerombolan ikan hari ini meskipun ia sangat menyukai ikan dan senang pada dunia yang bermain yang berkesan atau menyentuh air.

Sering ia berpikir bagaimana ikan ini melahirkan atau siapakah ayah dan ibu dari anak-anak ikan yang berada di sudut-sudut kolam pada permukaan air. Kenapa ikan-ikan tidak berkicau seperti seekor burung Perkutut kesukaan ayahnya atau memiliki gigi-gigi yang ompong seperti giginya. Dengan ujung lidah lantas ia meraba-raba giginya yang termakan ulat. “Hah ulat?” Pikirnya. Sebab ibunya sering menyebutnya berulang-ulang ketika hendak tidur. Dengan demikian maka anak kecil akan segera meminta untuk mengantarnya ke kamar mandi.

“Kalau ayahku ikan, ibuku ikan dan aku ikan maka kami akan punya lebih waktu bersama setiap hari” anak kecil memuji ikan yang selalu bersama kadang terpencar sejenak. 

“Kalau kami seumpama semua ikan, berarti ayah tidak perlu pulang larut malam dan ibu tidak lagi diantar dengan mobil mewah dan aku tidak perlu dijaga pembantuku yang cantik yang selalu memandangi foto ayah di kamarnya pada sebuah buku bergambar ikan bakar dan sayur-sayuran”. 

Setiap malam anak kecil berdoa menjadi ikan sebelum ia merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh tahun depan. Dan bila mereka menjadi ikan, pembantunya yang cantik itu dapat memandangi ayahnya pada buku resep makan yang diapit sambal, nasi dan sayuran yang hijau. Di halaman depan ada ayahnya, halaman berikutnya ada ibunya dan halaman selanjutnya dirinya lalu halaman seterusnya. Setiap malam sebelum ia tertidur ia selalu berdoa. ‘Tuhan jadikan kami ikan’.


JoGja: 01-01-13 ‘sekedar mencurigai sesaat’








2 komentar:

  1. dalam :D

    protes atas anak2 yg tidak diperhatikan dan menangkap sedikit cinta terlarang, yay hidup berwarna!

    BalasHapus
  2. yah tepat sekali..hehe..! itulah pentingnya komunikasi n perhatian sesibuk apapun kita pd rutinitas..thanks ross da baca..

    BalasHapus