Oleh: Bertho Lojisua
Anak
kecil berjalan pada bibir kolam yang berisi ikan, mungkin ikan Mujair dan ikan
sejenisnya yang yang belang-belang. Dalam benak kadang terpikir bagaimana jika
ia menjadi salah satu dari mereka, entah yang besar atau yang paling kecil.
Tetapi ia ingin menjadi mereka, sebab dengan begitu ia bisa berenang dengan
bebasnya. Iya membayangkan ayah menjadi ikan yang berwarna hitam cerah, ibunya
adalah ikan yang berwarna emas dan ia akan menjadi ikan yang seperti sapi,
sebab ia suka boneka Sapi yang berwarna belang-belang. Dan ia menyebut ikan itu
sebagai ikan Sapi, walupun ikan itu adalah Koi Koi.
Hari
ini langit begitu biru dan awan berambut seperti Sinterclaas. Dirumah begitu
sepi tidak ada gaduh tawa atau teriakan kecuali siulan burung yang sesekali,
atau bunyi air mancur di halaman samping. Anak kecil tidak kesepian walaupun
sendiri menjadi hal yang tujuh puluh persen ia rasakan setiap hari dan dua
puluh limanya ada di sekolah, itupun jika sekolah tidak sedang libur. Hari
minggu adalah hari rekreasi keluarga walau terkadang tidak ditemani ayah dan
cuma ibu atau sebaliknya. Tetapi itu terkadang yang sebenarnya hampir sering.
Ia
adalah anak pertama dari ayah seorang pebisnis yang tidak besar tapi cukup
besar mungkin akan menjadi besar seiring waktu. Ia adalah anak dari ibu yang
ayahnya juga seorang konglomerat. Dan ia adalah cucu kesayangan dan pertama
dari anak kedua konglomerat itu, sebab kakak pertama dari ibunya tidak
mempunyai anak sejak pernikahan delapan tahun lalu. Lantas ia sangat disayangi
oleh pamannya yang dua hari lalu pindah ke kota lain, dan itu membuatnya sedih
berkeping-keping. Ia adalah seorang anak kecil yang tidak mengerti tetapi
pandai merekam sertiap situasi tanpa protes pada situasi, sebab ia baru lahir
27 Januari di enam tahun delapan bulan, dua puluh delapan hari tahun lalu. Tiga
bulan tiga puluh hari lagi ia akan berumur tujuh tahun pada 27 Januari 2013. Kini
ayahnya yang rajin bekerja hingga malam telah tiada dan ibunya yang rajin
membeli pakaian dan jajan, juga lenyap sedari pagi. Yang ia tahu bahwa ayah dan
ibunya bekerja agar dapat membelinya sepatu Sinderella yang selalu didongengkan
pamannya, baju baru, sepeda baru, boneka sapi yang lebih besar. Ia juga sering
mengingat janji ayah dan ibunya untuk mengumpulkan uang lebih banyak untuk
membeli adik baru yang laki-laki.
Di
rumah hanya ia dan pembantu yang cantik. Ia sangat menyukai pembantu itu ketika
pembantu itu sering memandikannya dan menyisir rambutnya yang panjang sambil
bercerita tentang ayahnya yang rajin bekerja. Hari begitu terang dan indah dan
begitulah yang ia rasakan sebab ia belum banyak memerotes pada situasi kecuali
lapar dan haus. Tetapi kini ia mulai melakukan protes pada dirinya dan
keinginannya, ia tidak menginginkan mobil atau perhiasan seperti milik ibunya
ia kini mulai merasa kurang diperhatikan. Sebetulnya ia ingin ditemani ayah dan
ibunya, duduk di pangkuan mereka setiap saat dan mendapat pujian ‘kamu pintar’,
sebab kemarin nilai gambarnya 95 namun ayah dan ibunya belum melihat dan
memberi pujian. Semalam ia menunggu ayah dan ibunya pulang namun ia terlanjur
tidur dan pagi ini tidak seperti hari biasanya ayah dan ibunya lebih awal
pergi. Entah kemana yang jelas untuk mengumpulkan uang buat membeli adik yang
laki-laki. Ia lebih senang bersekolah dari pada menikmati liburan seperti hari
ini. Pernah ia mengeluh pada guru kesayangannya yang adalah seorang guru muda
wali kelasnya, bahwa ia tidak suka hari libur walau ia merindukannya, dan ibu
guru kesayangannya memujinaya bahwa ia adalah anak yang rajin dan pandai.
Dengan demikian ia senang pada pujian
gurunya dan melupakan alasan mengapa ia tidak suka liburan. Ia kemudian berlari
kembali ke lapangan bersama teman-temannya, sebelum ibu guru itu menanyakan
alasannya setelah meng-update status Facebook-nya ‘Aku galauuuu, tapi aku kog suka??’.
************
Matahari
belum benar-benar sampai pada ujung langit sehingga pohon cemara di sebelah
timur dapat membayangi dirinya dan separuh kolam yang berada disebalah barat
pohon. Anak kecil hanya sendiri berjalan di bawah bayangan pohon sambil melihat
ikan yang tenang berenang dengan warna yang belang-belang.
“Aku
ingin berenang dengan bebas dan setelah itu aku kembali menjadi menusia, menjadi
anak dari ayah dan ibuku” anak kecil itu memandang ke dasar kolam pada gerombolan
ikan sambil membayangkan dirinya ada di antara kawanan ikan lainnya.
Ada
batu kecil sebesar biji kelereng di pinggir kolam, batu itu dilembarkan ke
dalam kolam dan ikan-ikannya berpencar hampir menyerupai kembang api.
“Apakah
mereka ketakutan atau apakah ada yang mengenai mereka dari batu yang kulempar?.
Aku ingin menjadi ikan”, gumannya dalam hati.
“Tuhan
apakah nanti jika aku bukan lagi manusia aku akan menjadi ikan ini. Mungkin
ikan-ikan ini dulunya adalah manusia sepertiku yang kemudian menjadi ikan oleh Tuhan.”
Ia
menyentukan jari-jari kecilnya pada permukaan air, kadang mengambil beberapa
daun cemara yang telah lebur dari rantingnya dan melemparkan ke kolam.
Ikan-ikan lantas mendekat mebuka mulut-mulut mereka pada pinggir kolam. Anak
kecil ini merasa bahwa ikan ini sedang mengajaknya berbicara.
“Hey
ikan kecil” sapanya pada semua ayah, ibu, dan anak ikan sambil ia tersenyum
kegirangan.
“Namaku
Mura, siapa nama kalian?” sambil jari-jarinya ingin menyentuh ikan namun ikan
semakin menjauh lalu datang lagi. Lantas ia mengerti bahwa ikan tidak bisa
berbicara kecuali manusia namun ia yakin bahwa ikan bisa berbicara ketika malam
ia tidur, ketika semua orang tidak ada di kolam, sebab pikirnya ikan itu
pemalu. Malu untuk berbicara atau takut untuk tertawa padanya. Ia kesal kepada
gerombolan ikan hari ini meskipun ia sangat menyukai ikan dan senang pada dunia
yang bermain yang berkesan atau menyentuh air.
Sering
ia berpikir bagaimana ikan ini melahirkan atau siapakah ayah dan ibu dari
anak-anak ikan yang berada di sudut-sudut kolam pada permukaan air. Kenapa
ikan-ikan tidak berkicau seperti seekor burung Perkutut kesukaan ayahnya atau
memiliki gigi-gigi yang ompong seperti giginya. Dengan ujung lidah lantas ia
meraba-raba giginya yang termakan ulat. “Hah ulat?” Pikirnya. Sebab ibunya
sering menyebutnya berulang-ulang ketika hendak tidur. Dengan demikian maka
anak kecil akan segera meminta untuk mengantarnya ke kamar mandi.
“Kalau
ayahku ikan, ibuku ikan dan aku ikan maka kami akan punya lebih waktu bersama
setiap hari” anak kecil memuji ikan yang selalu bersama kadang terpencar
sejenak.
“Kalau
kami seumpama semua ikan, berarti ayah tidak perlu pulang larut malam dan ibu
tidak lagi diantar dengan mobil mewah dan aku tidak perlu dijaga pembantuku
yang cantik yang selalu memandangi foto ayah di kamarnya pada sebuah buku
bergambar ikan bakar dan sayur-sayuran”.
Setiap
malam anak kecil berdoa menjadi ikan sebelum ia merayakan ulang tahunnya yang
ke tujuh tahun depan. Dan bila mereka menjadi ikan, pembantunya yang cantik itu
dapat memandangi ayahnya pada buku resep makan yang diapit sambal, nasi dan
sayuran yang hijau. Di halaman depan ada ayahnya, halaman berikutnya ada ibunya
dan halaman selanjutnya dirinya lalu halaman seterusnya. Setiap malam sebelum
ia tertidur ia selalu berdoa. ‘Tuhan jadikan kami ikan’.
JoGja: 01-01-13 ‘sekedar
mencurigai sesaat’
dalam :D
BalasHapusprotes atas anak2 yg tidak diperhatikan dan menangkap sedikit cinta terlarang, yay hidup berwarna!
yah tepat sekali..hehe..! itulah pentingnya komunikasi n perhatian sesibuk apapun kita pd rutinitas..thanks ross da baca..
BalasHapus