Kamis, 03 Januari 2013

Surat yang Hening


Oleh: Bertho Lojisua
Bingkai ini kadang ku pandang sejenak. Ku rasa kau tahu dan ingat warna dan isinya. Aku tidak sengaja utuk melihatnya tetapi kerena kebetulan saja. Sebenarnya aku ingin membuang dari dalam kamarku sebab gambarmu di dalam bingkai ini semakin kehilangan makna sesering waktu terus berlalu, kecuali kenangan dari bingkai ini yang tetap utuh. Aku belum benar-benar tegah yang mungkin seperti dalam pikiranmu bahwa bingkaimu akan kuremukan setelah kita saling meninggalkan pada saat itu. Jika aku kan membuang itu hanya kalau aku berubah. Coba kau lihat betapa aku tidak berubah untukmu aku tidak mudah berubah walau kau ingin berubah dengan kehidupan barumu dan menganggapku telah lama. Atau kau menyisikan aku pada deretan kesekian dari ingatanmu, lalu kau mencibir aku dan berkata ‘ah dirimu hanya sepotong kenangan’.
  
Aku ingin kau tahu aku belum terbiasa melupakanmu entah sampai kapan. Maafkan aku jika terlalu lancang untuk berkata demikian, namun hanya kelancangan ini yang bisa menjadi pendobrak sesak di dalam dada menjadi air mata. Aku bersyukur akhirnya aku menangis, dan benar seperti yang kau katakan bahwa air mata itu hangat dan asin, padahal dulu aku tak pernah merasakannya. Setelah surat ini ku tulis dengan cinta yang tersisa dan dalam kebodohan yang aneh untukmu. Aku kan pergi dan suatu saat bila kita bertemu kau harus katakan bahwa air mata itu tajam dan menyejukan. Aku sudah merasakannya, coba kau rasakan bila itu sempat.

Frida tak kuasa melanjutkan isi surat tersebut, ia menyandarkan dirinya pada belakang pintu sambil menikmati air mata yang terus mengalir. Air mata yang hangat, asin, tajam dan menyejukan. Surat yang tak pernah ia baca pada enam tahun yang lalu, pada april yang hangat sehangat linangan air matanya.

“Maafkan aku bila telah menipu dirimu dan diriku. Tuhan dimanakah dia aku ingin memeluknya erat dan mengatakan air mata memang tajam”

Air mata masih terus mengalir pada pipinya dan semakin tajam menembus semua masa lalu hingga pada sudut terkecil dari perjalanannya bersama orang yang pertama dicintainya. Kini ia menyesali semua keputusan untuk meninggalkan kekasih lamanya yang telah enam tahun hilang dan kini datang tak disengaja seteleh ia mencoba membuka tumpukan buku-buku sekolahnya yang usam yang lama tersimpan pada kamar barang-barang bekasnya. Perbedaan keyakinan menjadi pisau yang memisahkan dirinya dan kekasih lamanya. Mengikuti keinginan orang tua dan menjaga nama baik keluarga adalah alasan mengapa Frida meninggal kekasih lamanya. Dan yang alasan yang dilontarkan untuk berpisah di enam tahun lalu ialah ‘Sebenarnya saya tidak mencintai dirimu dan kita harus mengakhiri hubungan ini’.

Surat itu terus digenggamnya erat. Seakan ingin kembali pada enam tahun lalu dan mengatakan yang sebenarnya kepada kekasihnya. Atau kabur dari rumah orang tuanya pada sebuah tempat asing yang asalkan dapat menikmati sisa hidup dalam kejujuran hatinya. Namun kini ia harus menerima kenyataan bahwa ia tak mungkin lagi mencari kekasih lamanya.

“Siang sayang aku datang, dimana sih kamu?” buru-buru Frida menyeka air matanya dan membuang surat yang tak habis terbaca kedalam karung berisi sampah-sampah kertas yang akan ditimbang kilo.

“Iya sayang aku di kamar belakang, ga usah ke sini dulu. Aku lagi bersih-bersih ni, debunya banyak”

“Kog pulangnya cepat sih? Tanya Frida separoh senyum, sambil masuk ke ruang tengah menyambut suami pilihan Ayah dan Ibunya.

“Kan mau ngantar kamu ke rumah sakit, hari inikan kita mau priksa kandunganmu sayang..” jawab suaminya manja sambil merapikan rambut ikal Frida.

“Oh ya aku lupa nih, mungkin karena terlalu asik bersih-bersih” Di dalam dasar hati Frida masih ada tentang surat yang terpenggal, namun kini surat itu hanya dalam hening hatinya. Ia meyakinkan diri bahwa itu hanyalah milik masa lalu kini ia milik suaminya yang mencintainya tanpa hening.

Frida merangkul suaminya erat-erat sambil terus mengumpulkan rasa cinta yang kini semakin mendalam. Dan merasakan sisa-sisa air matanya yang menempel pada kedua pipinya, sambil Frida berharap semoga ini air mata terakhir untuk dia yang entah dimana. Sementara suaminya memeluknya penuh rasa sayang dan Frida masih menangis tanpa rasa asin dan hangat kecuali rasa tajam dalam hati yang mudah-mudahan kan sejuk sebentar lagi.


Bertho-301212 'menangkap siluet yang separoh'







Tidak ada komentar:

Posting Komentar